Monday, December 22, 2008

Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia

Pendahuluan

“Knowledge is power”

Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.

Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.

Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.

Pendidikan Masa Hindu-Buddha

Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.

Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.

Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.

Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.

Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.

Pendidikan Masa Islam

Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).

Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).

Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.

Pendidikan Masa Kolonial

Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.

Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.

Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.

Pendidikan: Berawal dari Keluarga

Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran.

Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.

Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi.

Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga. (Bayu Galih/Rusyanti/Rian Timadar/Khairun Nisa, Mei 2008)

Pustaka:

Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Santiko, Hariani.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.

Ekadjati, Edi S.
1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.

Saturday, November 22, 2008

Jejak Crusoe di Tanah Sunda

Cast away..going at it alone..
Cast away..now im on my own..
Trouble bound lost and found cast away….(Green Day)

Sebagai sebuah tema dalam karya sastra, ‘cast away’ telah dipopulerkan oleh seorang penulis Inggris; Daniel Defoe (1660-1731) melalui karyanya yang fenomenal: Robinson Crusoe. Tapi tahukah Anda, saking terkenalnya novel ini sehingga data sejarah literature masa Kolonial di Indonesia sempat mengabadikan kisahnya dalam bahasa Sunda dan dibaca oleh kalangan elit pada masa itu?

Secara ringkas buku tersebut menceritakan tentang kecerdasan strategi dan pertahanan Crusoe untuk hidup dalam pulau tersebut selama 26 tahun. Dalam cerita tersebut juga dimunculkan seorang tokoh yang disebut sebagai “Friday”--yang selanjutnya menjadi frase “man Friday” yang berarti ‘trusted servant’ atau ‘pelayan setia’. Setelah 28 tahun keduanya kemudian berhasil ke luar dari pulau tersebut dan berlayar menuju Inggris.

Penjelajah Daisuke Tkahashi lebih dari satu dasawarsa meyakini bahwa Alexander Selkirk, seorang kelasi Skotlandia, yang mungkin mengilhami Robinson Crusoe. Selkirk terdampar dan bertahan hidup di sebuah pulau, jauh dari pantai Cile pada 1704. Tepatnya di dekat teluk Cumberland. Selkirk kemudian diperkirakan membangun dua pondok kayu ditutupi lalang dan dilapisi kulit kambing (Kompas, 25 September 2005).

Lalu bagaimana Robinson Crusoe bisa tercetak dalam bahasa Sunda?

Adalah Kartawinata (1846-1906), seorang anak dari (hoofd) panghulu Moehamad Moesa (pengarang Panjiwoeloeng, 1871), yang terlibat dalam berbagai penerjemahan pada masa itu. Bersama saudara dan anak-anak Sunda lain, dia belajar bahasa Belanda di Garut. Adiknya, Lasminingrat juga seorang penulis yang hidup sezaman dengan Kartini dan juga turut berkontribusi dalam pendidikan gadis-gadis Sunda pada masa itu (Moriyama: 2005).

Kartawinata bersama K. F. Holle menerjemahkan berbagai novel eropa (Kapten Bonteku, Robinson Crusoe, Kapitein Marion, dll), buku pertanian, buku pelajaran, kamus-bersama P. Blusse, serta publikasi-publikasi pemerintah. Dia kemujdian ditunjuk sebagai asisten penerjemah untuk bahasa Sunda pada Februari 1874 dan kemudian diangkat menjadi pegawai penerjemah resmi. Karena jasanya yang berharga bagi Kolonial, pemerintah Batavia kemudian menghadiahinya dengan medali perak.

Sebelumnya, diketahui bahwa bahasa Sunda diakui secara formal keberadaannya oleh pemerintah Kolonial pada abad ke-19 dan disadari pentingnya oleh para penguasa Bumi putera (Bupati dan jajaran di bawahnya) yang kemudian penggunaannya diperluas bukan hanya sebagai alat komunikasi social secara lisan seperti pada aad sebelumnya (17 dan 18) melainkan juga sebagai objek penelitian ilmu bahasa, bahasa pengantar, dan mata pelajaran di sekolah, dan media karya tulis.

Lalu apa yang menarik dari karya terjemahan Kartawinata?

Menurut Moriyama, bukan hanya uraian rinci mengenai kebiasaan dan pemikiran Barat yang membuat terjemahan Kartawinata terkesan modern. Yang juga membangkitkan minat dan mengejutkan para pembaca Bumiputra adalah adanya objek-objek dan orang-orang asing yang ada pada buku-buku itu yang dilukis dengan sangat hidup dan realistis dalam gambar sketsa, kontras dengan naskah-naskah Bali dan Jawa dan Sunda yang menurut Ekadjati (1996:101-128) hanya sedikit mengandung ilustrasi dan gambar.

Kombinasi antara tulisan dan gambar tentunya dirasakan sebagai sesuatu yang sangat baru oleh para pembaca Sunda; sekarang mereka dapat membaca cerita sambil mengembangkan imajinasi mereka tentang peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Boleh dibilang, para pembaca dipaksa untuk membaca dan melihat, suatu cara baru untuk memahami dunia ini yang merupakan kunci penting menuju modernisasi (Moriyama, 2005: 249-250).

MODERNISASI. Itulah benang merah yang hendak dirajut dalam rangkaian kata demi kata, dalam transliterasi maupun transkripsi oleh para pendahulu kita- yang pada akhirnya membawa pada sebuah babak baru: pembentukan Commissie voor de Inlandsch School-en Volkslectuur (Komisi untuk buku-buku sekolah Bumiputera dan buku-buku bacaan populer) pada 1908-sebuah angka tahun yang berharga bagi tonggak sejarah kebangkitan Nasional! (Rusyanti)

Berapa Kali Borobudur Dibangun?


Siapa yang tidak mengenal Borobudur? Memang tidak mengenal Borobudur bukan sebuah kejahatan. Namun cukup untuk membuat seseorang dianggap sebagai manusia tak berwawasan luas. Sebab candi megah ini sangat terkenal, tak hanya di Indonesia namun juga di dunia.

Walau demikian terkenal, tak banyak yang tahu kalau Borobudur dibangun dalam beberapa periode. Menurut Jacques Dumarcay, seorang arsitek asal Prancis, candi itu dibangun sebanyak lima kali dalam periode yang berbeda.

Pada perode pembangunan yang pertama, pondasi awal Borobudur terbentuk dari dinding kecil yang terdiri dari deretan batu yang merupakan garis batas. Dinding pondasi dilapisi puing-puing batu sisa. Batu yang digunakan di seluruh bagian candi adalah batu andesit. Setelah dinding pondasi sudah diselesaikan, maka yang selanjutnya dilakukan adalah mengerjakan bagian kaki. Bagian ini merupakan bagian yang terpisah dari pondasi. Kedua garis pondasi memiliki perbedaan satu sama lain. Proyeksinya adalah 16 cm di sebelah timur laut dan 8 cm di sebelah barat daya.

Sisi-sisi candi dibuat menghadap ke arah timur. Penopang candi diletakkan di bagian atas tingkat pertama lapisan puing-puing batu. Sementara kaki-kaki tiang pancang ditanamkan ke dalamnya. Ketika jalan mulai dibuka, penopang tetap diletakkan dalam bangunan sampai pembangunan mencapai galeri pertama. Setelah itu, penopang diambil dan bekas tempatnya diisi oleh balok-balok batu. Setelah meletakkan deretan batu pertama pada tembok untuk galeri kedua, bagian barat dikurangi karena penyusunan batunya tidak rapi.

media-2.web.britannica.com

Pada galeri ketiga dibangun struktur. Mungkin proporsi dan kerangka tembok hias dan relief telah dibangun seluruhnya sebelum kemudian dirusak. Keberadaan struktur ini diketahui dari dua fakta. Berdasarkan hasil riset geologi, ada wilayah yang sempit dan tersusun rapat di galeri ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa bagian tersebut pernah digunakan. Fakta kedua, adalah dibawah tangga utara yang menuju kaki bangunan dan berasal dari periode pembangunan yang kedua, sejumlah besar elemen pahatan, termasuk tembok hias dan puncak tertinggi, telah ditemukan.

Pada akhir periode pembangunan awal, bangunan sudah lengkap. Termasuk bagian kaki candi yang sekarang tersembunyi, dua galeri pertama, dan sebuah struktur utama. Lalu pengerjaan bangunan ditinggal selama lebih kurang 25 tahun.

Pada periode pembangunan kedua lapisan puing-puing batu terlepas. Sementara parit besar yang muncul di sisi bukit menyebabkan struktur bagian utara rusak. Periode pembangunan kedua adalah pembaharuan lengkap bangunan, untuk menjaganya tetap sebagai satu kesatuan. Akan tetapi rencana baru yang dibuat untuk galeri tiga dan empat menunjukkan perbedaan dari periode pertama. Tangga yang sudah direkonstruksi pada periode pertama, sekarang menjadi kurang tinggi. Karena itu perlu sekali untuk membuat kembali desain baru, dan membangun kembali lengkungan di pintu masuk.

Untuk memberi kesan kesatuan bagi bangunan, tiang pintu masuk yang baru, diletakkan di dekat relief lama yang sama dengan galeri tiga dan empat. Bagian atas bangunan mulai dikerjakan lagi. Sisi-sisi bukit tempat candi mendompleng, mulai berubah. Termasuk lima tingkat dari tanah yang dimampatkan dan melapisi puing-puing. Struktur bundar dibangun di bagian atas mimbar, lalu pekerjaan sekali lagi dihentikan.

Sebelum pembangunan periode ketiga dimulai, semuanya diratakan. Pada periode ini dibangun tiga beranda bundar yang menembus stupa-stupa dan stupa sentral. Pagar langkan galeri pertama dimodifikasi dengan cara membangun relung dibagian atasnya untuk menambah sejumlah arca Buddha. Bagian kaki diperluas, dan disisipkan saluran-saluran air hujan.

Pada dua periode terakhir, yaitu periode keempat dan kelima, hanya terjadi perkembangan kecil. Ruang antara relung terbuka di pagar langkan galeri pertama ditutup. Selain itu, pada bagian dalam galeri pertama dipahatkan relief yang baru. Relief-relief ini dihubungkan dengan jalan menuju pintu masuk dan akses baru menuju tangga.

Pada periode ini, tanah yang padat mengakibatkan sisi bukit terkikis dan puing-puing menimpa ke sisi barat. Tanah disekitar bangunan menutupi seluruh tingkat pertama bagian kaki. Tangga di sisi bukit menghilang, galeri-galeri akan terisi tanah dan tanaman liar. Lalu pembangunan terhenti, hingga muncullah candi megah sebagaimana yang kita kenal sekarang. (nisa)

Masjid Azizi: Berlian di Tanjungpura

Kubah

Jatuh cinta itu sudah dirasakan sejak pandangan pertama. Begitulah yang penulis rasakan ketika pertama kali melihat mesjid ini beberapa tahun lalu. Sayang kesempatan untuk mengunjunginya lagi baru terlaksanakan September lalu.

Namanya Masjid Azizi, terletak di Tanjungpura, sebuah kota kecamatan kecil yang belum melupakan kemelayuannya. Masih banyak rumah tradisional berbahan kayu dengan tangga yang berdiri dengan eloknya di kota ini. Walau tentu saja modernitas adalah sesuatu yang tak dapat di tolak. Rumah-rumah berarsitektur Melayu ini pun mesti bersaing dengan rumah modern yang angkuh.

Syahdan, Azizi dan Tanjungpura merupakan milik Kesultanan Langkat. Mesjid dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) dan diresmikan pada 12 Rabiulawal 1320 Hijriah atau tepatnya 13 Juni 1902. Kini nama kerajaan pendirinya diabadikan dalam nama sebuah kabupaten, Kabupaten Langkat.

Tak banyak memang yang tahu kerajaan ini. Pamornya kalah oleh Kerajaan Deli dengan Istana Maimoon-nya yang memang berlokasi di Kota Medan. Padahal Kesultanan Langkat cukup makmur dengan perkebunan karet dan cadangan minyak di Pangkalan Brandan. Kesultanan ini runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga kesultanan Langkat yang terbunuh. Namun kejayaan mereka tak hilang ditelan waktu. Mesjid Azizi masih menyimpan kenangan akan kerajaan ini.

Kenangan tersebut terlihat pada pemakaman istimewa yang berada dalam bangunan berpagar dan terbuat dari bahan seperti marmer putih. Itulah makam keluarga kesultanan. Di sampingnya terdapat pemakaman dengan nisan bermacam ragam dan berjumlah ratusan. Diantaranya tampak kuburan Amir Hamzah, penyair Indonesia dari angkatan Pujangga Baru, dengan salah satu karya terkenalnya: Nyanyi Sunyi.

Arsitektur Mesjid Azizi merupakan perpaduan corak Timur Tengah dan India. Ada lebih dari sembilan kubah kecil yang terdapat bagian atap. Ciri khas Timur Tengah dan India tersebut dikombinasikan dengan corak Melayu, Persia dan China.

Keanekaragaman itu tercermin dari ornamen-ornamen mozaik dan pualam bernuansa Timur Tengah. Sementara pengaruh Cina bisa dilihat dari menara yang menjulang di pelataran mesjid. Hal serupa juga ditemukan pada bagian pintu dengan ukir-ukiran khas Cina mirip yang terdapat di kelenteng. Bangunan utama Masjid Azizi merupakan perpaduan arsitektur bercorak Timur Tengah dan India yang megah dengan banyaknya kubah. Ada lebih dari sembilan kubah kecil yang terdapat pada atapnya.


Azizi adalah mesjid yang kaya. Bukan karena biaya pembangunannya mencapai angka 200.000 ringgit. Kekayaannya tampak dari arsitektur dengan banyak ciri dan tradisi. Kekayaan ciri itulah yang menjadikan Azizi indah dipandang. Mesjid ini bahkan lebih indah dari istana sang sultan sendiri. Tak salah jika Azizi dianggap Berlian dari Tanjungpura. (nisya)

Saturday, May 17, 2008

May Day

Sebuah peradaban besar dunia seringkali ditandai dengan adanya suatu bangunan adikarya yang menjadi masterpiece. Banyak orang menyebutnya sebagai keajaiban dunia atau wonders. Tapi seringkali wonders tersebut identik dengan raja, penguasa, dan dinasti pembuatnya. Dan melupakan jutaan buruh yang membangunnya: Yang rata-rata berusia hanya hingga 30 tahun, atau mungkin bekerja sepanjang hari dan malam tanpa upah, dengan status budak.

Mesir Kuno memiliki Piramid. Salah satunya merupakan piramid agung di Giza, yang dibangun sekitar 5000 tahun yang lalu. Konon piramid ini bisa terlihat dari bulan. Selain memiliki fisik mengagumkan, piramid Giza juga membuat kagum para ahli arkeologi karena akurasi ordinasinya yang mengacu pada rasi bintang Orion. Juga karena kerumitan bentuk ruang di dalamnya, dengan banyak ruang rahasia dan diindikasi penuh harta karun. Walau demikian, Piramid tetap identik dengan Pharaoh (Firaun), dan terlupakan pula jasa jutaan buruh yang membangunnya selama tiga dasawarsa.

China memiliki Tembok Besar yang membentang sepanjang 6.700 kilometer. Tembok yang katanya bisa dilihat dari bulan tersebut dibangun sebagai pertahanan terhadap musuh yang datang dari utara. Tembok ini dibangun oleh beberapa dinasti dari sekitar abad 5 SM hingga abad ke 16. Tapi yang dikenang adalah Kaisar Qin Shihuang sebagai pemrakarsa dalam pembangunan tembok secara masif pada 220 SM. Maka terlupakanlah jasa 2 hingga 3 juta buruh yang mati dalam pembangunannya.

Hal ini mencetuskan pertanyaan menarik: Ketika peran buruh sering terlupakan, apakah peradaban merupakan manifestasi ego penguasa? Apakah peradaban adalah wujud dari megalomaniak seorang raja yang ingin memperlihatkan kebesarannya? Atau mungkin sekedar membuat bangunan indah untuk mendiang istrinya?

Namun kemudian sejarah mencatat bahwa para buruh melakukan perlawanan ketika peran mereka terlupakan. Para buruh menolak untuk bekerja selama 19 – 20 jam perhari dengan upah yang sangat minim.

Kemudian pada tanggal 1 Mei 1886 sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demo besar-besaran selama empat hari di Chicago. Demo itu kemudian berujung pada penangkapan dan penembakan terhadap para aktifis buruh, yang kemudian dikenal sebagai insiden Haymarket. Untuk memperingati insiden Haymarket, para buruh kemudian menjadikan 1 Mei sebagai Hari Buruh International, yang lebih populer disebut May Day.

Mungkin May Day merupakan sebuah momentum yang mengingatkan manusia. Bahwa peradaban (yang dibangun dari cipta, rasa, dan karsa manusia) idealnya menghargai setiap lapisan masyarakat. Peradaban bukanlah manifestasi individualisme sekelompok manusia untuk mengeksploitasi manusia yang lain. Walau sejarah pernah mencatat bahwa eksploitasi dan ekspansi pernah menjadi bagian dari peradaban di masa lalu, bukan sebuah dosa untuk berharap terciptanya peradaban masa depan yang lebih baik. (BG)

Monday, April 14, 2008

Memaknai Kecantikan Tuhan

Pengantar

Aroma feminin begitu terasa setiap memasuki bulan April, terutama di pertengahan. Mengapa? Mungkin karena sejarah kelahiran satu nama, yang kelak dianggap berjasa bagi pergerakan kaum perempuan Indonesia: Kartini.

Kartini adalah sosok yang resah pada masanya. Status sosial dan penderitaan bangsanya akibat dijajah, membuatnya tidak merasa nyaman. Namun, hal yang paling membuatnya resah adalah statusnya sebagai perempuan. Bukan karena ia menyesal karena dilahirkan sebagai perempuan. Tetapi, lebih karena ia merasa sulit untuk menyatakan pendapat, juga mewujudkan impiannya untuk melanjutkan pendidikan, hanya karena ia perempuan.

Menjadi perempuan. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Secara primordial, manusia juga mengakui itu. Bahkan, manusia merasa takjub dengan peran yang dijalankan perempuan: sebagai rahim kehidupan, yang melahirkan sebuah generasi. Sebuah ketakjuban yang membuat mereka menggambarkan salah satu bentuk Tuhan dalam figur perempuan, yang dikenal dengan nama Mother Goddess.

Bagaimana pun juga, secara alamiah, perempuan memiliki peran besar dalam kehidupan: Sebagai seorang ibu, yang melahirkan dan membesarkan calon penerus negeri. Kesadaran itulah yang menjadikan kami mengangkatnya dalam tema Tinulad edisi April.


Tuhan itu Cantik

“If God had a name, what would it be and would you call it to His face…”
(Joan Osborne dalam One Of Us)

Perbincangan tentang Tuhan adalah hal yang sulit. Hal ini tidak hanya disebabkan akan melibatkan masalah teologi semata. Ketika melakukan perbincangan tentang Tuhan, kita akan terlibat dalam dimensi yang jauh lebih luas dan mendalam: Pada sebuah pencarian manusia yang sangat panjang, sebuah pencarian akan hakikat.

Perkenalan manusia terhadap dunia ‘di luar’ mereka telah terekam dalam bukti-bukti arkeologi sejak masa Paleolitik, atau sekitar 20.000 – 30.000 tahun yang lalu. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai peninggalan yang menyiratkan adanya kepercayaan terhadap kekuatan Sang Segala Maha. Peninggalan tersebut antara lain berupa punden berundak, lukisan gua (rock art), dan kubur batu beserta bekal kubur yang menyertainya.

Dari peninggalan-peninggalan tersebut, para ahli dari berbagai ilmu sosial-budaya kemudian mengetahui beberapa konsep kepercayaan yang dimiliki manusia sejak masa prasejarah: Antara lain adalah adanya konsep “hidup sesudah mati (life after death)”, “dunia lain”, dan kepercayaan supranatural lainnya. Namun, bisa jadi hal paling menarik untuk diperhatikan adalah sebuah konsep manusia akan Tuhan. Juga tentang bagaimana mereka berusaha untuk menggambarkan kepercayaan mereka yang abstrak akan Tuhan, ke dalam sebuah bentuk konkret.

Bagaimanakah bentuk Tuhan? Pertanyaan itulah yang berusaha dijawab manusia sejak ribuan tahun silam, namun tetap relevan hingga sekarang. Manusia kemudian berusaha untuk mendefinisikan realitas tertinggi tersebut ke dalam berbagai macam bentuk dan figur. Tentu saja, beberapa penggambaran bentuk Tuhan didefinisikan sejauh nalar yang dimiliki manusia. Sehingga, sering kali terdapat penggambaran Tuhan secara antropomorfis, dengan bentuk layaknya manusia.

Di setiap kebudayaan, penggambaran Tuhan secara antropomorfis merupakan hal yang sering ditemui. Seperti misalnya penggambaran Tuhan yang termanifestasi dalam bentuk arca-arca persembahan. Tuhan digambarkan memiliki bentuk dan indera layaknya manusia. Bahkan, dalam kebudayaan yang tidak memanifestasikan Tuhan dalam bentuk arca persembahan, seperti Islam misalnya, penggambaran Tuhan secara antropomorfis tetap ditemukan. Seperti misalnya konsep kerinduan untuk menatap wajah Tuhan, wajah yang mampu ‘ditangkap’ nalar manusia merupakan wajah seperti layaknya yang dimiliki manusia.

Lalu bagaimana dengan Tuhan dalam figur perempuan? Hal ini sempat menjadi kontroversi ketika dalam film Dogma (1999), Tuhan digambarkan adalah seorang perempuan, yang diperankan oleh Alanis Morisette. Padahal, sejak ribuan tahun sebelumnya penggambaran Tuhan dalam figur perempuan sering ditemui dalam berbagai kebudayaan di dunia. Sebuah konsep yang dikenal dengan nama Mother Goddess, bukti bahwa manusia juga memiliki konsep Tuhan dalam figur perempuan. Sebuah konsep yang juga hadir sebagai bagian dari penggambaran antropomorfis manusia akan Tuhan.

Perempuan Sebagai Rahim Kehidupan

Mother Goddess (Dewi Ibu) merupakan identifikasi umum untuk penggambaran Tuhan dalam figur perempuan. Umumnya, Mother Goddess juga sering disebut dengan Mother Earth, yang sering dikaitkan sebagai dewi kesuburan. Konsep penggambaran Tuhan yang dikaitkan dengan kesuburan ini merupakan konsep yang telah dikenal manusia sejak masa Paleolitik, bahkan ditemukan di beberapa belahan dunia.

Temuan arkeologi yang paling terkenal yang menggambarkan Mother Goddess adalah “Venus of Willendorf”. Arca ini ditemukan di Willendorf, Austria, dan berasal dari masa Paleolitik, sekitar tahun 30.000 – 20.000 SM. Bentuknya menyerupai seorang perempuan, yang terlihat dari payudara dan perut yang menonjol seperti sedang hamil. Bentuknya menyerupai seorang perempuan dengan payudara dan perut yang menonjol seperti sedang hamil. Karena bentuknya itulah figur ini sering diidentifikasi sebagai dewi kesuburan. Karena seperti yang kita ketahui perempuan juga merupakan seorang ibu, sebagai makhluk yang melahirkan.

Selain “Venus of Willendorf”, terdapat pula temuan-temuan figur perempuan dari masa prasejarah yang juga diidentifikasi sebagai Mother Goddess. Antara lain figur-figur yang ditemukan di Lespugue dan Lausell, Prancis; dan tepian sungai Nil, Mesir. Bentuknya hampir sama dengan yang ditemukan di Willendorf, sehingga juga dikaitkan dengan kesuburan. Namun tidak semua temuan dengan bentuk tersebut memiliki arti dan makna yang sama. Bisa jadi figur-figur tadi tidak memiliki makna ketuhanan dan diidentifikasi sebagai dewi kesuburan, melainkan hanya sebagai hiasan atau mainan.

Pada masa selanjutnya, konsep-konsep ketuhanan dalam bentuk perempuan tetap banyak yang dikaitkan dengan kelahiran dan kesuburan. Konsep yang kemungkinan telah dikenal sejak masa prasejarah ini, semakin bervariasi dikenal di banyak belahan dunia.

Kebudayaan Yunani mengenal Gaea, sebagai Ibu Bumi yang kelak melahirkan dewa-dewi dan kehidupan di bumi; Kebudayaan Babylonia dan Asyria mengenal Ishtar sebagai dewi kesuburan; Amaterasu dipercaya sebagai dewi matahari yang melahirkan keluarga kaisar yang berkuasa di Jepang. Selain itu, masih banyak lagi penggambaran figur perempuan yang dikaitkan dengan dewi yang berkaitan dengan kesuburan dan kelahiran. Hal itu memperlihatkan bahwa konsep Tuhan sebagai pencipta sering pula dikaitkan dengan perempuan yang merupakan rahim dari awal kehidupan manusia.

The Power-Within

Pada awalnya, memang figur dewi perempuan sering diidentikkan dengan dewi yang berkaitan dengan kelahiran dan kesuburan. Akan tetapi, pada pada perkembangan berikutnya banyak ditemukan dewi perempuan yang dilengkapi dengan atribut lain selain kesuburan dan kelahiran. Umumnya, figur-figur dewi perempuan di berbagai kebudayaan memiliki atribut yang memiliki sifat feminin sebagaimana layaknya perempuan: Seperti dewi cinta, dewi kecantikan, dan dewi kesenian.

Selain itu, figur-figur dewi perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuatan. Seperti misalnya Athena, dewi kebijaksanaan yang dikenal di kebudayaan Romawi. Walau sebagai dewi kebijaksanaan, figurnya lebih menyerupai dewi perang. Hal ini terlihat dari penggambaran Athena: dengan baju perang, lengkap dengan perisainya. Namun bukan berarti Athena merupakan sosok yang identik dengan kekerasan. Athena dikenal juga sebagai dewi kedamaian dan dewi keadilan. Oleh masyarakat Yunani, Athena dianggap sebagai pelindung kehidupan yang beradab (civilized life).

Kebudayaan Hindu mengenal Durga sebagai figur perempuan yang dilengkapi dengan atribut kekuatan. Sosok Durga digambarkan bertangan banyak, dengan beraneka macam senjata di genggaman. Masing-masing senjata merupakan pemberian setiap dewa dalam pertarungan Durga melawan Mahisasura, yang berwujud kerbau. Hal itu dilakukan para dewa karena mereka tidak sanggup mengalahkan Mahisasura, dan hanya Durga yang mampu mengalahkannya. Durga merupakan aspek krodha (dahsyat; menakutkan) dari istri (sakti) Siva. Adapun aspek santa (tenang) dari sakti Siva lebih dikenal dengan nama Parvati atau Uma.

Selain Athena dan Durga, masih banyak figur perempuan yang juga memiliki atribut kekuatan. Seperti misalnya Freya (dewi perang sekaligus dewi cinta yang dipercaya oleh bangsa Viking di Eropa Utara) dan Ishtar (dewi perang dan cinta bangsa Babylonia dan Assyria). Hal itu seolah-olah menepis kesan perempuan sebagai sosok yang lemah. Menariknya, justru kekuatan itu semakin bersinergi dengan kelembutan dan kebijaksanaan, yang merupakan sifat feminin dan secara alamiah dimiliki perempuan.

Konsep Keseimbangan

Melihat begitu banyaknya unsur feminin pada sejarah manusia dalam usahanya menggambarkan Tuhan, banyak yang bertanya-tanya: Mengapa sekarang terdapat kecenderungan aspek ketuhanan yang patriarki, yang didominasi oleh figur laki-laki. Walaupun mungkin pada kenyataannya Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan.

Namun sebenarnya, terdapat pula konsep keseimbangan dalam hal ketuhanan yang berusaha dijelaskan oleh beberapa kebudayaan. Misalnya seperti konsep sakti dalam kebudayaan Hindu. Sakti adalah energi atau kekuatan yang dimiliki setiap dewa, yang juga dianggap sebagai penggerak para dewa. Ada juga yang mengatakan bahwa sakti adalah energi feminin, sehingga dalam penggambarannya sakti itu berwujud istri. Sebuah wujud yang merupakan pendamping para dewa dalam menjalankan ‘tugasnya’ untuk menciptakan dan melangsungkan alam semesta.

Selalu ada perempuan hebat di balik lelaki hebat. Mungkin itulah makna dari konsep sakti. Karena itu Wisnu ditemani Laksmi, Brahma ditemani Sarasvati, dan Siva ditemani Parvati dalam menjalankan ‘tugasnya’.

Konsep keseimbangan juga terdapat pada kebudayaan yang tidak memanifestasikan Tuhan dalam wujud konkret, dalam hal ini adalah kebudayaan Islam. Walau tidak memiliki wujud konkret, namun konsep keseimbangan gender dalam hal ketuhanan yang dikenal Islam terdapat pada sifat-sifat Tuhan yang terdapat di nama-namaNya (Asmaul Husna). Mengutip Ibnu Arabi, Sachiko Murata (1992), seorang ahli di bidang perbandingan agama, dalam buku Tao Of Islam melihat bahwa ada sifat feminin di nama-nama seperti Al Quddus (suci), dan Ar Rahiim (penyayang); juga sifat maskulin di nama-nama seperti Al Aziz (perkasa) dan Al Jabbar (penguasa).

Sebuah Harmoni

Walau demikian banyak aspek ketuhanan yang berusaha untuk dimanifestasikan oleh beberapa kebudayaan dalam figur perempuan, tidak berarti merendahkan sifat maskulin dari ketuhanan. Begitu pula sebaliknya, ketika aspek ketuhanan itu lebih banyak dimanifestasikan dalam figur laki-laki, tidak menjadikan sifat feminin dari ketuhanan menjadi direndahkan. Justru sebenarnya manusia berusaha memperlihatkan bahwa ada sifat maskulin dan sifat feminin dalam aspek ketuhanan. Sebuah konsep keseimbangan yang telah disampaikan sejak masa Paleolitik, bahkan mungkin hingga masa Posmodernisme seperti sekarang.

E. O. James (1950), seorang ahli di bidang sejarah dan filsafat agama, dalam buku The Concept Of Deity mengatakan bahwa keseimbangan gender dalam aspek ketuhanan disimbolkan bagaikan langit dan bumi. Langit (sky-god) merupakan simbol Tuhan yang disembah dan berkuasa. Sedangkan, Bumi (earth-mother) merupakan simbol Tuhan yang memelihara dan menjaga.

Pendapat sama juga pernah dikemukakan Rumi, yang pernah dikutip Erich Fromm (1956) dalam buku The Art of Loving. Bahwa dalam pandangan orang-orang bijak, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan oleh langit. Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas kepadanya. Jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya. Langit memayungi bumi layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya; dan Bumi pun sibuk dengan urusan rumah tangga: ia melahirkan dan menyusui segala yang telah ia lahirkan.

Indah sekali, bukan?! Walaupun banyak cara yang dilakukan manusia dalam menggambarkan Tuhan, bagaimana pun juga Tuhan adalah sebuah keseimbangan dan kesempurnaan. Sebuah harmoni yang menjadikan dunia terus berputar, hingga Ia berkehendak untuk menghentikannya suatu saat (Bayu Galih/Rusyanti/Khairun Nisa, April 2008).

Sunday, March 30, 2008

Arkeolog dalam Fiksi

Dunia arkeologi yang dalam kehidupan nyata sering dianggap memiliki madesu (alias Masa Depan Suram) ternyata bisa disulap menjadi seksi dan mendebarkan di tangan para penulis. Sebutlah beberapa judul yang mengangkat tema penelitian masa lalu ini seperti: Indiana Jones, National Treasure, sampai Jurassic Park, mereka laris ditonton oleh jutaan umat manusia di seluruh dunia. Thanks to Holywood, masyarakat bisa memiliki pandangan baru terhadap profesi suram ini. Jadi, bagaimana kalau kita sedikit berkenalan dengan sebagian dari arkeolog fiktif tersebut?

Indiana Jones

Indiana Jones merupakan tokoh fiksi yang paling “bertanggung jawab” atas persepsi masyarakat modern tentang arkeologi: Perburuan harta karun. Harap maklum, mengingat film garapan Spielberg yang diproduseri Goerge Lucas ini begitu sukses mendulang penonton (dan dollar) dalam periode 80-an. Walau begitu, Dr. Jones tetap berburu harta karun dalam bingkai ilmu pengetahuan. Tentu saja, mengingat statusnya sebagai seorang profesor di bidang arkeologi.

Bernama lengkap Dr. Henry Walden Jones Jr., tetapi lebih memilih untuk dipanggil Indiana yang merupakan nama anjing peliharaannya sejak kecil, daripada panggilan yang diberikan sang ayah: Junior. Telah melakukan berbagai petualangan sejak kecil selagi mengikuti tugas dinas sang ayah yang juga seorang arkeolog.

Nurani seorang arkeolognya sudah muncul sejak masa sekolah. Dalam The Last Crusade, diceritakan bagaimana pandu muda ini berusaha menyelamatkan Salib Coronado dari tangan pemburu harta karun, untuk ditempatkan di museum. Dengan tali cambuk dan topinya yang khas, Indi merupakan ikon seorang petualang sejati. Namun ia tetap digambarkan punya kelemahan: fobia terhadap ular.

Indiana Jones pertama kali muncul dalam trilogi petualangannya yang terkenal: Raiders of The Lost Ark, Indiana Jones and the Temple of the Doom, dan Indiana Jones and The Last Crusade. Dalam ketiga film tersebut, peran Indi begitu lekat dengan nama Harisson Ford. Menyusul kesuksesan film, muncul pula serial televisinya, The Young Indiana Jones Chronicles pada tahun 1992 hingga 1996. Adapun peran tersebut dimainkan tiga orang berbeda: Sean Patrick Flanery (Indi usia 17 tahun), George Hall (93 tahun), dan Corey Carrier (10 tahun).

Lara Croft

Terlahir dari keluarga bangsawan, putri dari Lord Henshingly Croft, Lara merupakan seorang antiquarian yang selalu terlibat berbagai petualangan seru. Apalagi kalau bukan berburu harta karun. Walau demikian, hal itu tidak menjadikan Lara menjadi karakter yang liar. Ia tetap memiliki karakter yang kuat sebagai seorang bangsawan.

Perkenalan Lara terhadap alam bebas dan berbagai petualangan dimulai sejak masa sekolahnya di Gordonstoun. Di sanalah ia menemukan cintanya pada alam bebas, pada pegunungan di Skotlandia. Kemudian berlanjut saat ia melanjutkan kuliah di Swiss, terutama saat ia mulai kenal dengan berbagai extreme sports. Dan, persahabatannya dengan alam jua yang membuat ia bertahan ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh di Himalaya.

Di rumah besarnya di Surrey, Inggris, Lara merasa terkungkung dalam lingkungan aristokrasi. Hanya petualangan yang membuat Lara merasa ‘hidup’. Saat itu juga dia sadar bahwa rumahnya cukup luas untuk menampung berbagai artefak. Itulah yang membuat Lara memulai petualangannya sebagai seorang Tomb Raider.

Tomb Raider merupakan video game laris yang membesarkan nama Lara Croft. Jagoan hasil rekaan Toby Gard ini menjadi ratu dunia game sejak debutnya pada 1996. Kini hasil rekaan itu telah muncul dalam film, dan telah melekat dengan nama Angelina Jolie.

Taichi Hiraga-Keaton

Taichi Hiraga-Keaton merupakan seorang arkeolog yang lahir dari ayah seorang ahli zoology dari Jepang dan ibu seorang bangsawan Inggris. Sejak perceraian orangtuanya, Keaton mengikuti sang ibu dan menjadi warga negara Inggris. Beranjak dewasa, Keaton melanjutkan kuliahnya di jurusan Arkeologi, Oxford University.

Lulus dari Oxford, Keaton kemudian memulai karir militernya di SAS, sebuah pasukan khusus Inggris. Berbekal kemampuan militernya di SAS, juga kemampuan analisis dan pengetahuannya sebagai seorang arkeolog, Keaton kemudian bekerja sebagai penyelidik asuransi di Lloyd’s of London. Namun ia juga masih menjadi pengajar arkeologi di berbagai universitas. Sebagai seorang arkeolog, ia punya impian: ekskavasi di tepi sungai Danube dan membuktikan teori kalau kebudayaan Eropa berawal dari tepi sungai Danube.

Master Keaton merupakan manga (komik Jepang) hasil rekaan Hokusei Katsushika dengan ilustrasi Naoki Urasawa yang berkisah tentang petualang Keaton sebagai penyelidik asuransi. Dibuat pada 1988 hingga 1994, Master Keaton menuai sukses dan menginspirasi anak-anak Jepang untuk mendalami Arkeologi. Kesuksesan itu membuat Keaton juga muncul dalam format DVD dalam bahasa Inggris untuk pasar Amerika Serikat.

Adapun yang membuat Keaton berbeda dengan Lara atau Indi adalah sosoknya yang lebih humanis. Keaton digambarkan sebagai manusia biasa, yang bercerai dengan istrinya dan terpaksa meninggalkan putrinya di Jepang demi pekerjaan yang memaksa ia berkeliling dunia. Walau cerita tidak sedahsyat Tomb Raider, Master Keaton merupakan kisah yang kaya dengan pengetahuan budaya.

Dengan latar dan kepribadian yang berbeda, para arkeolog fiktif di atas berhasil mengubah pandangan orang mengenai profesi yang mereka wakili. Walau perlu juga diingat apa yang ada di dunia nyata mungkin tak semendebarkan yang terangkai dalam fiksi. Namun bagi para penggilanya, pekerjaan yang paling membosankan sekalipun bisa jadi jauh lebih memicu adrenalin ketimbang bungee jumping di ketinggian Niagara. Akankah Indonesia memiliki detektif masa lalunya sendiri? Kita lihat saja... (Tim redaksi Tinulad)

Archaeology: The Unfinished “Work”

Apa yang ada di kepala kita ketika mendengar kata “arkeologi"? Jawabannya berbeda-beda. Arkeologi adalah: fosil, dinosaurus, penggalian, Indiana Jones, peneliti, dan ilmuwan. Kutipan dibawah ini mungkin cukup mewakili paradigma yang sering kali direpresentasikan oleh masyarakat populer dewasa ini.

“Archaeology is partly the discovery of the treasures of the past, partly the meticulous work of the Scientific analyst, partly the exercise of the creative imagination..”
(Bahn, 1996:11)

Dengan kemajuan teknologi yang pesat dewasa ini, pernyataan diatas dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk visual yang mengagumkan oleh tangan-tangan creationist. Yup! Lihatlah perburuan harta karun yang menegangkan di situs Angkor Wat oleh jagoan perempuan bernama Lara Croft dengan latar belakang dunia arkeologi. Penelitian untuk memecahkan serangkaian teka-teki rumit dalam bentuk novel detektif karya Agatha Christie yang terinspirasi oleh suaminya yang juga arkeolog. Simak juga film fiksi karya Steven Spielberg yang fenomenal, sebuah karya imajinasi kreatif di luar batas nalar: Jurassic Park. Inilah bungkusan arkeologi dalam dunia konsumsi di era nanoteknologi. Disadari atau tidak, karya-karya ini cukup mempopulerkan dunia arkeologi kepada masyarakat umum, terutama bagi para pelajar yang ingin meneruskan studinya ke tingkat yang lebih tinggi.

Di Indonesia sendiri "arkeologi" bukanlah hal yang populer. Gaungnya tidak selaris "ekonomi". Secara institusional hanya ada 4 universitas yang menggodok calon-calon arkeolog. Keempat universitas ini adalah UI, UGM, UDAYANA, dan UNHAS. Di UI sendiri animonya masih cukup bagus. Rata-rata daya tampung untuk tiap tahunnya sekitar 20-40 kursi. Menurut Irmawati Johan, Sekjur Arkeologi-UI, motif para mahasiswa baru terhadap arkeologi bervariasi dari mulai kesadaran penuh menggapai cita-cita, terinspirasi berbagai film dan buku, hingga yang merasa terjebak dan pada akhirnya tertawan akan nama besar UI. Namun ada pula mahasiswa yang benar-benar menemukan dirinya setelah ia mengenal ilmu ini secara lebih mendalam.

Calon-calon arkeolog muda ini tentunya akan menghadapi berbagai tantangan yang besar ketika mereka pada akhirnya harus berhadapan dengan realita yang ada di luar. Jangan terlalu berharap akan menemukan petualangan spektakuler seperti yang digambarkan dalam layar lebar atau sedramatis novel, karena yang terlihat dibalik layar belum tentu sama dengan kenyataannya.

Tergusurnya situs-situs arkeologi baik yang sekarang terjadi dan dimasa yang akan datang merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi dan penguasaan kapital. oleh karena itu perjuangan kita seringkali akan berbenturan dengan penguasa dan kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, jumlah situs-situs yang pastinya meningkat tiap 50 tahunnya, memerlukan penanganan yang menyeluruh dan menuntut peningkatan kompetensi tiap individunya dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin cepat.

Untuk menghadapi tantangan ini dalam metode pengajarannya, jurusan arkeologi UI menerapkan sistem PBL (Problem Based Learning) yang berorientasi pada mahasiswa sebagai objek (Student Centered). Sistem ini menuntut mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif dan kritis. Sedangkan dosen sendiri lebih bersifat fasilitator. Pada penerapannya, memang masih banyak ditemukan adanya kekurangan terutama pada masalah fasilitas yang menunjang perkuliahan. Walau begitu pengajar menginginkan agar mahasiswanya mampu bersaing dengan dunia luar untuk memajukan arkeologi di Indonesia. Keterbatasan hendaknya tidak dijadikan hambatan untuk terus maju. Tidak ada cara lain bagi kita selain giat belajar dan berusaha meraih segala peluang yang ada dengan penuh tanggung jawab.

Sebagai ilmu yang tidak terlalu populer di Indonesia, bidang karir untuk dunia inipun tidak banyak, ditambah lagi dengan jumlah angkatan pencari kerja yang berjumlah 40 juta lebih, menjadikan persaingan semakin sulit. Banyak ahli-ahli budaya yang berkarir di bidang lain dan sebaliknya. Peluang sebenarnya tetap ada. Banyak Balai-balai arkeologi, Suaka purbakala maupun museum-museum yang tersebar di seluruh Indonesia. Yang diperlukan sekarang adalah keberanian untuk out of Java dan pembenahan manajemen sumber daya budaya kearah yang lebih baik. The right man in the right place nampaknya sulit di terapkan di Indonesia.

Tapi di balik segala masalah yang pelik ini, gemerlapnya layar hiburan yang membius para treasures seeker, menumpuknya angkatan pencari kerja, angkuhnya tembok-tembok penguasa dan budak kapital penjual aset-aset bangsa.... Lebih dari sekedar produk konsumsi, Arkeologi mengusung nilai yang lebih penting lagi yaitu sebuah proyek idealis yang menuntut tanggung jawab bersama demi kemanusiaan dan identitas bangsa yang mau tidak mau harus diteruskan kepada generasi penerus dan pelurus bangsa yang tidak hanya “mentok” pada batasan-batasan karir semata. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Calne:

“Keselamatan kita, sebagai hewan sosial, tergantung pada kemampuan kita berbicara dan mengerti, dan keampuhan kebudayaan moderen berasal dari terciptanya tulisan barang lima ribu tahun yang lalu. Semua peradaban besar di dunia ini sekarang dibangun diatas dasar manfaat tulisan dan bacaan. Dan jauh sebelum itu... apa yang kita tahu mengenai sejarah pratulis adalah berkat arkeologi...”
(Calne, 2005: 38&84)

Untuk menjawab tantangan ini, dewasa ini banyak sekali komunitas-komunitas pencinta budaya di Indonesia dengan berbagai visi dan misi. Selain sebagai sarana berkreasi, dan mengintelektualisasikan diri,...komunitas ini mampu memperlihatkan eksistensinya ditengah arus globalisasi ekonomi yang semakin gencar. Lihatlah kreatifitas kelompok yang terkenal dengan Dagadu atau Joger-nya. Dengan tetap mengusung tema pelestarian budaya, kelompok-kelompok ini mampu menghasilkan keuntungan dan nama besar, sekaligus membuka peluang kerja.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Negeri ini menyimpan banyak potensi baik propinsi, suku-bangsa, bahasa, adat-istiadat, macam kuliner, dan lain-lain yang tersebar di 276.000 pulau dengan kandungan potensi arkeologi yang belum tergali. Itu merupakan aset yang sangat berharga. Siapa lagi yang akan memberdayakannya selain kita sebagai generasi penerus bangsa?

Jadi sebenarnya, Archaeology is a dynamically expanding subject. Calne mengingatkan kita bahwa, lebih dari romantisme akan kenangan masa lalu, arkeologi merupakan dasar dari terbentuknya peradaban moderen sekarang ini. Arkeologi memberi kita “harta karun” agar belajar dari sejarah untuk masa depan yang lebih baik.

Peluang karir yang sesuai mungkin terbatas di dunia nyata, tapi tidak dalam imajinasi

Lihatlah biografi JFK, Sukarno, Bill Gates, Sayyid Quthb. Mereka semua adalah pengkhayal. Imajinasi merupakan tulang punggung penyangga kreativitas dan sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan (Annis Matta) kita. Kecintaan kita pada Arkeologi dapat ditransformasikan dalam berbagai bentuk dan kreasi. Jadilah aktif, kritis dan kompeten. Teruslah berkarya dan ingat:

“Everything that You Can Imagine Is Real”
(Albert Einstein)

(Rusyanti)

Monday, February 18, 2008

Laksamana Cheng Ho

Cheng Ho merupakan sebuah sosok yang memiliki banyak sekali nama. Beberapa ada yang menyebutnya Zheng He, Sam Po Kong, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan sebuah nama lagi disebutkan dalam sebuah berita Ming Shi (Sejarah dinasti Ming), bahwa “Zheng He berasal dari Propinsi Yunnan, dikenal sebagai Kasim San Bao”. Tokoh ini kurang diperhatikan pada masa feodal Cina di masa lalu karena dia adalah seorang kasim, dan kasim tidak dihargai di Cina pada masa itu.

Cheng Ho berasal dari suku Hui yang anggota sukunya banyak yang memeluk Islam, termasuk ayah dan kakeknya. Beberapa ahli ada yang menyatakan keluarga ini sebagai keturunan Nabi Muhammad, tetapi tak sedikit pula yang menentang. Cheng Ho hidup sejak 1371-1433 M, dan selama masa hidupnya dia sudah memimpin armada pelayaran selama 28 tahun dengan 7 kali pelayaran berturut-turut untuk mengunjungi banyak negara, baik di Asia maupun Afrika.

Dalam tujuh pelayarannya tersebut, dia mampir ke Sumatera sebanyak 7 kali dan ke Jawa sebanyak 6 kali karena dia tidak singgah ke pulau ini pada pelayarannya yang ke-enam. Akan tetapi di Jawa ada sebuah bangunan yang dibuat untuk mengenang Cheng Ho, yaitu Klenteng Sam Po Kong di Semarang.

Menurut cerita, pada pertengahan abad 15 Cheng Ho berlabuh di Simongan, Semarang, karena pembantunya, Wang Jing-hong, sakit. Untuk menjaga kesehatannya Cheng Ho memerintahkan Wang beserta 10 awak kapal menetap sementara di Semarang, sementara ia dan awak lain meneruskan perjalanan. Dengan segera Wang menjadi betah dan memutuskan menetap.

Keputusannya ini membawa banyak perubahan bagi daerah tersebut. Karena kemudian, ia dan 10 awak lain bercocok tanam, membuat rumah, menikah dengan wanita setempat, dan berdagang dengan menggunakan satu kapal yang ditinggalkan Cheng Ho, serta menyebarkan agama Islam. Lama kelamaan daerah tersebut menjadi ramai dan berkembang pesat. Untuk mengenang jasa Cheng Ho ia membuatkan sebuah patung yang kemudian dipuja oleh masyarakat setempat setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Selanjutnya dibangun juga sebuah klenteng di tempat tersebut yang dikenal dengan nama Klenteng Sam Po Kong.

Setelah Cheng Ho meninggal, banyak orang yang berselisih paham mengenai letak makamnya. Sebagian mengatakan berada di Semarang, sebagian lain yakin makam tersebut ada di Gun Ming, Yunan. Sementara keturunannya sendiri berpendapat makam moyang mereka tersebut terletak di Nanjing.

Akan tetapi, kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa Cheng Ho cukup berjasa bagi dunia. Karena selain menyebarkan Islam, dia juga memperbanyak pengetahuan mengenai laut Pasifik dan Hindia, membuat 24 peta navigasi, menghalau bajak laut yang dapat menghambat perdagangan, dan membuka jalan untuk pertukaran kebudayaan. (nisa)

Dikutip dari Sam Po Kong dan Indonesia karya Kong Yuan Zhi)

Tuesday, February 12, 2008

Witing Tresno

Prakata

Februari. Bulan kedua dalam penanggalan surya ini sering dianggap sebagai bulan penuh cinta. Love is in the air. Setidaknya demikianlah anggapan sebagian besar masyarakat dunia, terinspirasi dari kebudayaan Romawi yang merupakan salah satu kebudayaan besar dunia.

Akan tetapi tulisan ini tidak akan membahas perayaan yang hanya dalam satu hari dapat membuat dunia bernuansa merah jambu. Alasannya? Bukan karena adanya pro – kontra perayaan Valentine’s Day yang sering dilandasi alasan ideologi, juga teologi. Tetapi karena ada hal menarik lain yang merupakan substansi dari perayaan itu, yang tentunya bersifat sangat universal: Cinta.

Bicara cinta, tentu saja akan terbayang sesuatu yang mellow-jello atau bahkan roman-picisan. Seperti halnya yang ditulis Plato dalam Symposium tentang soulmate: dua jiwa yang dipisah, kemudian apabila dipertemukan akan terasa… sempurna. Ironisnya, kisah Plato tersebut terinspirasi ocehan Aristophane ketika sedang mabuk.

Tetapi cinta tidak selalu bersifat melankolis dan romantis. Erich Fromm, seorang filsuf, bahkan menganggap cinta dapat membebaskan manusia dari keterasingan. Selama manusia menjadikan cinta sebagai suatu yang produktif: memiliki perlindungan, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan.

Pusing? Memang lebih menyenangkan apabila tidak membicarakan cinta secara filosofis. Sepertinya banyak yang sepakat apabila cinta lebih menyenangkan apabila diceritakan. Apalagi Indonesia juga memiliki banyak sumber cerita menarik tentang cinta, terutama yang bersumber dari masyarakat Jawa Kuna.

Bukan berarti terpengaruh Orde Baru apabila kami membicarakan kisah cinta yang banyak bersumber dari Jawa. Tidak dapat disangkal lagi, masyarakat Jawa Kuna merupakan masyarakat yang produktif dalam menghasilkan kisah roman.

Tidak hanya dalam bentuk tradisi lisan, bahkan kisah-kisah tersebut tercatat dengan baik dalam bentuk tulisan. Tidak hanya itu, kisah-kisah tersebut juga divisualisasi dengan jelas dalam bentuk relief cerita. Walaupun mendapat pengaruh dari kebudayaan India, namun cerita-cerita tersebut telah digubah sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri (local genius).


Untaian "Petulangan" Cinta Arjuna

Adapun tokoh yang populer dalam hal percintaan, bahkan hingga sekarang, adalah Arjuna. Salah satu tokoh Pandawa ini dikenal karena ketampanan fisiknya. Konon Arjuna memiliki setengah dari seluruh ketampanan dunia yang diberi oleh para dewa, sementara setengah yang lain dibagikan kepada seluruh pria di dunia. Namun bagaimanakah sebab-musabab Arjuna dikenal sebagai sosok yang mencari cinta?

Banyak naskah yang bercerita tentang ‘petualangan cinta’ Arjuna, antara lain Adiparwa, Subadhrawiwaha (pernikahan Subadhra), dan Arjunawiwaha (pernikahan Arjuna). Dalam salah satu fragmen cerita yang digubah dari Mahabharata, dikisahkan tentang sayembara yang diadakan raja Drupada, dan diikuti para Pandawa. Singkat cerita, para Pandawa berhasil menang, dan berhak mendapatkan putri raja, Drupadi, sebagai istri para Pandawa.

Para Pandawa membuat aturan mengenai saat-saat mereka menemani Drupadi, antara lain tidak mendekat saat salah satu dari mereka sedang bersama Drupadi. Namun, saat Yudhistira sedang bersama Drupadi, secara tidak sengaja Arjuna mendekati mereka berdua. Untuk menghindari perselisihan, Arjuna mengalah, memilih mengembara selama dua belas tahun, kemudian berikrar kepada Yudhistira (kakak tertua para Pandawa) tidak akan bercinta selama kurun waktu tersebut.

Kemudian dalam pengembaraannya Arjuna bertemu dengan Ulupuy, putri raja naga Korawya. Ulupuy-lah yang mematahkan ikrar Arjuna, dengan mengatakan bahwa ikrar itu hanya berlaku untuk Drupadi. Arjuna kemudian luluh, mengikuti Ulupuy ke dunia bawah, kemudian menikahinya.

Mungkin Ulupuy pula yang menjadi pintu bagi ‘petualangan cinta’ Arjuna. Karena kemudian Arjuna meninggalkannya dan kembali mengembara. Dalam pengembaraan berikutnya, tercatat nama Citragandha, Subadhra, Suprabha, dan Tilottama sebagai bagian dari ‘petualangan cinta’ Arjuna.

Citragandha merupakan putri raja Citradahana, yang membolehkan Arjuna menikahi putrinya selama Arjuna berjanji akan memberinya cucu laki-laki. Buah pernikahan Arjuna dengan Citragandha adalah Wabruwahana. Kemudian setelah memberikan cucu laki-laki kepada raja Citradhana, Arjuna kembali mengembara.

Pengembaraan berikutnya mempertemukannya dengan Krsna, juga Subadhra, adiknya Krsna. Konon Subadhra memiliki setengah dari seluruh kecantikan yang ada dunia, yang setengahnya ada pada perempuan seluruh dunia. Ketika melihat Subadhra pertama kali, Arjuna jatuh hati kepadanya. Namun Krisna menyarankan Arjuna untuk melarikan Subadhra. Karena kesaktiannya, Arjuna tidak dapat ditangkap. Kemudian Arjuna pun dinikahkan dengan Subadhra, juga atas usul Krsna kepada keluarganya, dengan pertimbangan kesaktian dan status Arjuna sebagai Pandawa.

Sedangkan Suprabha dan Tilottama adalah dua dari tujuh bidadari yang dinikahi oleh Arjuna, yang terdapat dalam naskah Arjunawiwaha. Kitab yang digubah Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Erlangga ini bercerita tentang usaha Arjuna untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa (daitya) yang berusaha menyerang dan menghancurkan surga, kerajaan Indra. Sebagai rasa terima kasih, Indra pun menikahkan Arjuna dengan tujuh bidadari, termasuk Suprabha dan Tilottama. Namun, tidak jelas kronologi kisah ini dalam ‘petualangan cinta’ Arjuna: apakah sebelum, sesudah, atau ketika ia menikah dengan Subadhra?


Kesetiaan Rama - Sita

Hmm… Tentu tidak semua kisah cinta seperti halnya Arjuna. Banyak juga, kok, kisah cinta dari masa Jawa Kuna yang menceritakan tentang kesetiaan. Mau bukti?! Kisah-kisah berikut adalah beberapa contohnya.

Tentu nama Rama – Sita tidak terdengar asing lagi. Kisah yang digubah oleh Valmiki ini kembali ditulis oleh penyair Jawa Kuna yang diperkirakan berasal dari zaman Kediri abad ke-11 atau ke-12. Mungkin bisa dibilang kalau kisah ini merupakan cinta segitiga dengan tokoh-tokoh yang paling dikenal di masyarakat Indonesia: Rama, Sita, dan Rawana.

Konon Rawana jatuh hati kepada Sita, yang ternyata sangat mencintai Rama. Rawana pun kemudian menculik Sita ke kerajaannya di Alengka. Rawana juga melakukan segala hal yang dapat menyenangkan hati Sita. Bahkan Alengka pun dipenuhi ribuan bulan bulat tiap malam, sebagai persembahan cinta Rawana kepada Sita. Namun Sita tetap sangat merindukan Rama.

Begitu pula dengan Rama, yang melewatkan musim hujan di gunung Malyawan dalam kedukaan yang dalam. Dalam pupuh ketujuh kitab Ramayana, kerinduan itu dituliskan dengan sangat puitis: “musim yang menimbulkan rasa rindu akan kekasih”. Kerinduan yang ironis, karena kemudian menyebabkan terbakarnya Alengka akibat serangan Rama yang dibantu adiknya, Laksmana, serta pasukan kera pimpinan Hanuman. Sita pun terlepas dari cengkraman Rawana, setelah Rama berhasil menewaskannya.

Akan tetapi ‘scene’ klasik layaknya love story lain, dimulai pada bagian berikutnya. Rama merasa mereka sudah tidak bisa hidup sebagai suami-istri lagi karena Sita sudah begitu lama hidup dengan Rahwana dan pengikutnya, yang notabene adalah musuh mereka. Sita yang terluka hatinya mencoba membuktikan kesuciannya dengan membakar dirinya sendiri dalam api. Agni, sang dewa api membantunya karena pada saat Sita menerjunkan diri api langsung berubah menjaid bunga teratai emas. Hal ini melenyapkan kecurigaan Rama dan akhirnya mereka bersatu kembali dan kembali ke Ayodhya sebagai raja dan permaisuri.

Pengorbanan Kama - Ratih

Beda lagi dengan Kama – Ratih. Kisah yang tertulis dalam Smaradahana (api asmara) gubahan Mpu Dharmaja pada paruh abad terakhir kerajaan Kadiri ini, bercerita tentang kesetiaan yang berakhir sangat dramatis.

Kisah berawal dengan ancaman yang melanda kahyangan oleh raksasa bernama Nilarudraka. Tak ada seorang pun dewa yang mampu mengalahkannya, kecuali seorang putra dari benih Siwa. Namun, saat itu Siwa sedang bertapa dan sama sekali tak bisa diganggu.

Para dewa kemudian mengadakan pertemuan, yang dipimpin oleh dewa Indra. Kemudian, atas usul Wrhaspati, seorang penasehat, para dewa sepakat untuk mengutus dewa cinta, Kama, untuk mengobarkan hati Siwa dengan asmara dan kerinduan terhadap Uma, permaisurinya.

Kama pun bersedia menerima tugas dari para dewa, dan berangkat menuju tempat Siwa sedang bertapa. Kama kemudian melepaskan beberapa panah berbentuk bunga, untuk membangkitkan kerinduan dewa tertinggi tersebut terhadap Uma. Berhasil. Siwa pun terbangun dari tapanya karena merindukan Uma. Kelak, lahir Ganesha sebagai buah cinta Siwa – Uma, yang akan mengalahkan Nilarudraka.

Akan tetapi, Siwa sangat marah setelah mengetahui tapanya diganggu oleh sang dewa asmara. Siwa lalu membakar Kama dengan mata ke-tiganya (trinetra) hingga menjadi abu. Mengetahui musibah yang menimpa Kama, Indra dan dewa yang lain kemudian datang untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. Mereka lalu meminta Siwa untuk menghidupkan Kama kembali. Karena, tanpa Kama tidak akan ada cinta, dan akan banyak hal buruk di dunia tanpa adanya cinta. Siwa sependapat, tetapi hanya akan menghadirkan suksma (sukma) Kama, dan tidak dalam bentuk fisik.

Mengetahui kabar yang menimpa suaminya, Ratih merasa sangat sedih. Tanpa Kama, ia hanya merasakan hidup bagai “menceburkan diri ke dalam api”. Wrahaspati kemudian menjelaskan bahwa mereka berdua masih dapat saling bertemu, walau hanya dalam bentuk suksma.

Di perabuan Kama, Ratih menegaskan kesetiaannya yang tak akan goyah. Api di perabuan Kama kemudian kembali menyala tinggi, seolah mengajak Ratih untuk menemani Kama. Setelah memurnikan pikirannya melalui yoga, Ratih kemudian menceburkan diri ke dalam api. Mengorbankan bentuk fisiknya untuk menyatukan kembali suksma mereka berdua.

Bentuk fisik Kama dan Ratih pun bersatu menjadi abu. Dan, hingga kapan pun suksma mereka juga akan terus bersatu. Kama akan menjelma pada hati setiap lak-laki. Sedangkan Ratih akan menjelma pada hati setiap perempuan.

Hmm… It sounds so deep…

Love is (Not) Blind

Banyak orang mengatakan kalau cinta itu buta. Jatuh cinta pun sering membuat manusia lupa segalanya, kecuali orang yang dikasihinya. Lihatlah Rawana, berjuta bulan bulat selalu dipersembahkan kepada Sita tiap malam. Sedangkan tak sedegup pun hati Sita bergetar kepada Rawana, karena rindunya yang teramat dalam kepada Rama. Sia-sia? Hanya Rawana yang mampu menjawabnya.

Namun, tidak selamanya cinta membuat manusia itu buta. Beberapa kisah cinta masyarakat Jawa Kuna mengajarkan bahwa cinta tidak hanya tentang mengagungkan rasa cinta itu sendiri. Ya, cinta tidak hanya tentang rasa, tetapi juga pengorbanan dan dharma. Dan, tentu saja hal itu membutuhkan kesadaran hati dan pikiran. Seperti salah satu kisah yang terdapat dalam Tantri Kamandaka berikut.

Alkisah, terdapat seorang raja yang bernama Aridarma (Angling Darma? –ed.), yang mencegah seorang putri naga dari perbuatan tidak senonoh. Atas perbuatannya itu, oleh raja naga Aridarma diberikan kemampuan bicara bahasa binatang. Akan tetapi, syaratnya adalah Aridarma harus merahasiakan kemampuannya itu, atau ia akan mati. Aridarma pun menyanggupinya.

Suatu ketika, saat sedang bermesraan dengan permaisurinya, Aridarma mendengar ucapan seekor cicak betina: “Aduhai, ingin sekali aku diperlakukan mesra seperti yang didapatkan Dewi Mayawati. Tidak seperti aku yang ditinggal suami dalam sepi.”

Mendengar itu, Aridarma hanya tersenyum. Ketika melihat suaminya tersenyum, Mayawati penasaran. Kemudian ia bertanya kepada suaminya. Akan tetapi, Aridarma diam, tidak menjawab rasa penasaran Mayawati. Ditikam sejuta penasaran, Dewi Mayawati terus mendesak, namun Aridarma tetap diam, karena ia akan mati, sesuai syarat yang diberikan raja naga.

Hingga kemudian, penasaran Dewi Mayawati berubah menjadi emosi. Ia lalu berkata “Baiklah, kalau begitu hamba lebih baik mati.”

Aridarma menjawab, “Baiklah kalau demikian. Buatkan tempat pembakaran. Kalau aku ceritakan, itu hanya akan membuatku mati. Nanti akan aku ceritakan di tempat kita akan terbakar bersama-sama. Sehingga matilah kita bersama-sama.”

Para pengawal kemudian mempersiapkan tempat pembakaran. Ketika di atas panggung, Aridarma mendengar obrolan sepasang kambing.

Kambing betina berkata, “Mas, ambilkan aku janur kuning dekat tempat pembakaran itu, dong.”

Tapi kemudian kambing jantan menjawab. “Pikirmu apa? Tidakkah kau melihat tempat itu dipenuhi para penjaga yang membawa senjata? Apa kamu mau aku disemblih?”

Kambing betina kemudian merengek, “Kalau kamu tidak mengabulkan, lebih baik aku mati saja.”

Sambil marah-marah, sang jantan lalu menjawab. “Kalau mau mati, mati saja! Tidak mau aku seperti raja bodoh itu. Hanya untuk memenuhi keinginan sang istri, dia memilih mati. Beda dengan aku, mau cinta, mau tidak cinta juga terserah…!”

Setelah mendengar ucapan kambing jantan, Aridarma pun tersadar, lalu turun dari panggung tempat pembakaran. Ia memutuskan untuk tidak secepat itu meluluskan permintaan permaisurinya tercinta. Bagaimanapun juga, Aridarma adalah raja, dan dharma seorang raja adalah kepada rakyatnya, bukan hanya kepada istri.

Namun, Mayawati tetap menerjunkan dirinya ke dalam api. Begitu pula dengan kambing betina.

All We Need is Love

Ckkk… ckkk… ckkk… Dahsyat juga, ya, apa yang telah ditulis masyarakat Jawa Kuna. Ternyata, cinta merupakan sumber inspirasi yang dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan. Datangnya cinta memang dapat menghasilkan berjuta akibat. Mulai dari rivalitas yang menyebabkan peperangan; hingga tentang perjuangan dan pengorbanan.

Betapa pun cinta dapat membuat manusia menjadi buta, namun seperti yang diajarkan naskah-naskah Jawa Kuna: bukan cinta yang hendaknya diagungkan. Tetapi dharma kepada cinta-lah yang harus diperjuangkan. Seperti yang dikatakan Erich Fromm (1947), yang dibutuhkan manusia adalah cinta yang produktif: memiliki perlindungan, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan. (Bayu Galih/Khairun Nisa, Februari 2008)




Tuesday, January 29, 2008

Tahun Baru di Dunia

Baru dua bulan berada di 2008, Indonesia sudah disambangi tiga tahun baru berbeda yang berhasil memperbanyak jumlah hari libur nasional. Yang pertama, tentu saja tahun baru 2008 yang jatuh pada 1 Januari lalu. Penetapan tanggal 1 Januari sebagai tahun baru sebenarnya sudah sejak masa Romawi Kuno. Awalnya mereka menetapkan 1 Maret sebagai tahun baru namun kemudian beralih pada 1 Januari. Pada abad pertengahan, ada banyak negara di Eropa yang menetapkan 25 Maret (Hari Kenaikan Tuhan) sebagai tahun baru hingga tahun 1600 ketika mereka beralih pada Kalender Gregorian yang menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru.

Hanya berselang beberapa hari, giliran jatuh pada Tahun Baru Muharram 1429 H. Ummat Islam menggunakan Kalender Hijriyah yang dinamakan demikian karena tahun pertamanya (622 M) adalah tahun ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun tahun Hijriyah baru mulai didiskusikan setelah Nabi Muhammad wafat. Ada yang mengusulkan agar patokan yang digunakan adalah tahun kelahiran nabi, namun ada juga yang mengusulkan diambilnya tahun ketika nabi wafat. Akhirnya pada 638 M, khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, dan tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Juli 622.

Tahun baru ketiga adalah tahun baru Imlek yang jatuh pada bulan ini. Kalender Imlek sudah dikembangkan jauh sebelum Masehi, tepatnya pada millenium ketiga sebelum masehi, dan konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì. Saat tahun baru, ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di antaranya, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat serta yang paling populer yaitu angpao. Makanan khas Imlek adalah kue keranjang, yang menurut mitosnya diperuntukkan bagi dewa dapur. Tahun baru Imlek ditentukan berdasarkan perhitungan lunar (peredaran bulan) yang dikombinasikan dengan perhitungan solar (peredaran matahari) dan pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Tahun pertama Imlek diambil dari tahun kelahiran Khong Hu Cu atau Kong Fu Tse pada 551 SM.

Tentu saja, selain tiga tahun baru yang disebutkan diatas, ada banyak tahun baru lain yang dirayakan di seluruh dunia. Umat Sikh merayakan tahun baru berdasarkan Kalender Nanakshahi setiap 14 Maret. Kalender Nanakshasi sebenarnya adalah kalender solar yang diadopsi oleh Shiromani Gurdwara Prabhandak Committee dan didesain oleh Pal Singh Purewal untuk menggantikan kalender Hindu.

Masyarakat Tamil, baik yang berada di India maupun di belahan dunia lainnya, merayakan tahun baru yang jatuh di sekitar tanggal 14 April. Di tahun 2008, petinggi Tamil Nadu memutuskan tahun baru Tamil akan bertepatan dengan dimulainya bulan Suravam dan diadakannya Festival Pongal.

Jepang merayakan tahun baru dan pergantian shio (Eto) secara bersamaan pada tanggal 1 Januari. Dahulu, kalender Jepang didasarkan pada kalender Tionghoa, sehingga mereka merayakan tahun baru di awal musim semi, bersamaan dengan Tahun baru Imlek, Tahun baru Korea, dan Tahun baru Vietnam, namun pada 1873 pemerintah Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sehingga tahun baru ikut dirayakan tanggal 1 Januari. Hari-hari di awal tahun baru ditandai dengan Hatsumode berupa kunjungan pertama ke kuil agama Shinto dan Buddha. Makanan khas tahun baru disebut Osechi, salah satunya adalah sup zoni dari kuah dashi yang berisi mochi dan sayur-sayuran. Penutupan perayaan tahun baru ditandai dengan memakan bubur nanakusa yang dimasak dengan 7 jenis sayuran dan rumput.

Masyarakat Ethiopia merayakan tahun baru yang disebut Enkutatash dan jatuh setiap tanggal 11 atau 12 September. Tahun baru akan selalu jatuh di tanggal ini pada tahun 1900 hingga 2099, namun akan jatuh di tanggal yang berbeda pada abad yang lain.

Tahun baru sebagai sebuah perayaan ketika merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya memang hanya akan terjadi di suatu kebudayaan yang memiliki kalender tahunan. Dengan begitu banyaknya populasi di dunia, masing-masing dengan kebudayaan yang berbeda-beda, maka tidak mengherankan jika ada banyak tahun baru yang dirayakan. Namun ada satu kesamaan, semuanya dirayakan dengan penuh keriangan, karena tahun baru adalah saat dimana banyak harapan baru mulai disemai dan tumbuh. (dari berbagai sumber)

Pulanglah Dia Si Arca Hilang

Beberapa orang mungkin menganggap topik ini usang, tapi sengaja kami angkat kembali demi membuktikan tak semua manusia yang hidup di Indonesia memiliki sifat latah yang sudah membudaya. Untuk mengetahui seberapa latahnya bangsa ini, mungkin kita bisa memundurkan ingatan beberapa tahun ke belakang, saat maraknya berita soal penemuan 'hobbit' yang dengan bangganya diumumkan Australia kepada dunia internasional. Seketika Indonesia kebakaran jenggot, lalu berubah marah dan gusar, sebab penemuan penting di tanah air malah diumumkan seenaknya oleh Mike Morwood dan Peter Brown dalam sebuah konferensi pers di Sydney, Australia, tanpa kehadiran peneliti Indonesia.

Malang benar nasib Indonesia. Punya lahan yang kaya artefak dan situs penting, punya peneliti sendiri yang mampu meneliti artefak-artefak tersebut, namun tak punya dana hingga terpaksa bekerja sama dengan negara lain, penyokong yang kemudian mengambil alih penelitian tersebut. Tapi hanya segitu saja, setelah media dan beberapa kelompok masyarakat puas merasa panik dan marah akan kasus tersebut, maka semuanya terlupakan.

Kasus dengan negara tetangga juga tak jauh berbeda. Ketika Malaysia sang 'saudara serumpun' menggunakan lagu Rasa Sayange untuk website kebudayaan mereka, serentak seluruh rakyat Indonesia marah, terutama karena setelah Rasa Sayange, ada pencurian beruntun lainnya. Internet dijadikan media ketika banyak orang menumpahkan kemarahan mereka di beberapa forum bebas maupun blog, bahkan hacker asal Indonesia sempat membajak situs tersebut. Tapi setelah itu apa?

Kembali pada kasus pencurian benda-benda purbakala di Museum Radya Pustaka yang berhasil terkuak, lingkaran setan yang sama juga kembali terulang. Pembahasan ramai dimana-mana, mengenai Hasjim, Krueger, lemahnya mental dan pengawasan para pegawai museum, sampai ketakcakapan pemerintah. Namun seiring dengan berjalannya waktu maka berita mengenai Hasjim, atau Museum Radya Pustaka-pun makin jarang ditemui.

Dimulai dari terkuaknya keberadaan arca-arca palsu di Museum Radya Pustaka tahun 2007 kemarin. Untunglah dua petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengendus ketidakberesan pada arca yang tersimpan di ruang belakang Radya Pustaka, September lalu. Kecurigaan itu muncul sebab arca Agastya di museum tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan wujud di dalam foto dokumen BP3 yang diambil pada 2001. Ternyata tak hanya satu arca yang palsu, Agastya memiliki empat 'teman' lain yang juga bernasib sama, yaitu Durga Mahisasura Mardini, Durga Mahisasura Mardini II, Siwa, dan Mahakala.

Terkuaknya kasus lima arca tersebut mendorong penyelidikan lebih lanjut, hingga BP3 Jawa Tengah mengumumkan ada enam benda koleksi lain yang telah hilang dan dipalsukan, yaitu dua arca perunggu, sebuah kap lampu perunggu, dua buah keramik yang salah satunya berasal dari Dinasti Ming, dan sebuah tempat buah-buahan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Pakubowono X.

Jumlah tersebut memang bukanlah kerugian yang sedikit, namun tanpa bermaksud mendukung pencurian yang melanggar hukum tersebut, terpikirkan oleh kami, benarkah arca-arca tersebut dalam keadaan yang lebih baik jika berada di tangan museum dan pemerintah? Kalau beberapa museum yang sudah kami kunjungi seperti Museum Nasional dan Fatahillah, bisa dijadikan patokan bagi kualitas museum-museum di Indonesia, maka bisa dipastikan museum adalah tempat yang mengerikan bagi benda-benda bersejarah tersebut. Pasti sudah banyak yang tahu betapa arca-arca di museum dalam kondisi yang aus dan berjamur, terlihat seperti tak dirawat sama sekali. Alasannya? Klise: kurang dana dan kurang orang.

Jika demikian, mungkin saja akan lebih baik arca-arca tersebut dicuri dan dibeli oleh kolektor pribadi yang mampu merawat mereka dengan lebih baik. Pencurian benda bersejarah yang dilindungi hukum memang salah, namun menelantarkan benda tersebut adalah tindakan yang sama salahnya.

Mungkin suatu ketika, saat museum kita sudah mampu memperlakukan museum kita benda-benda koleksi mereka dengan lebih 'manusiawi', maka mungkin itulah saat paling pantas bagi orang Indonesia untuk mengutuk pencurian dan pejualan ilegal benda-benda cagar budaya milik negara.