Tuesday, January 29, 2008

Tahun Baru di Dunia

Baru dua bulan berada di 2008, Indonesia sudah disambangi tiga tahun baru berbeda yang berhasil memperbanyak jumlah hari libur nasional. Yang pertama, tentu saja tahun baru 2008 yang jatuh pada 1 Januari lalu. Penetapan tanggal 1 Januari sebagai tahun baru sebenarnya sudah sejak masa Romawi Kuno. Awalnya mereka menetapkan 1 Maret sebagai tahun baru namun kemudian beralih pada 1 Januari. Pada abad pertengahan, ada banyak negara di Eropa yang menetapkan 25 Maret (Hari Kenaikan Tuhan) sebagai tahun baru hingga tahun 1600 ketika mereka beralih pada Kalender Gregorian yang menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru.

Hanya berselang beberapa hari, giliran jatuh pada Tahun Baru Muharram 1429 H. Ummat Islam menggunakan Kalender Hijriyah yang dinamakan demikian karena tahun pertamanya (622 M) adalah tahun ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun tahun Hijriyah baru mulai didiskusikan setelah Nabi Muhammad wafat. Ada yang mengusulkan agar patokan yang digunakan adalah tahun kelahiran nabi, namun ada juga yang mengusulkan diambilnya tahun ketika nabi wafat. Akhirnya pada 638 M, khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, dan tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Juli 622.

Tahun baru ketiga adalah tahun baru Imlek yang jatuh pada bulan ini. Kalender Imlek sudah dikembangkan jauh sebelum Masehi, tepatnya pada millenium ketiga sebelum masehi, dan konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì. Saat tahun baru, ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di antaranya, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat serta yang paling populer yaitu angpao. Makanan khas Imlek adalah kue keranjang, yang menurut mitosnya diperuntukkan bagi dewa dapur. Tahun baru Imlek ditentukan berdasarkan perhitungan lunar (peredaran bulan) yang dikombinasikan dengan perhitungan solar (peredaran matahari) dan pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Tahun pertama Imlek diambil dari tahun kelahiran Khong Hu Cu atau Kong Fu Tse pada 551 SM.

Tentu saja, selain tiga tahun baru yang disebutkan diatas, ada banyak tahun baru lain yang dirayakan di seluruh dunia. Umat Sikh merayakan tahun baru berdasarkan Kalender Nanakshahi setiap 14 Maret. Kalender Nanakshasi sebenarnya adalah kalender solar yang diadopsi oleh Shiromani Gurdwara Prabhandak Committee dan didesain oleh Pal Singh Purewal untuk menggantikan kalender Hindu.

Masyarakat Tamil, baik yang berada di India maupun di belahan dunia lainnya, merayakan tahun baru yang jatuh di sekitar tanggal 14 April. Di tahun 2008, petinggi Tamil Nadu memutuskan tahun baru Tamil akan bertepatan dengan dimulainya bulan Suravam dan diadakannya Festival Pongal.

Jepang merayakan tahun baru dan pergantian shio (Eto) secara bersamaan pada tanggal 1 Januari. Dahulu, kalender Jepang didasarkan pada kalender Tionghoa, sehingga mereka merayakan tahun baru di awal musim semi, bersamaan dengan Tahun baru Imlek, Tahun baru Korea, dan Tahun baru Vietnam, namun pada 1873 pemerintah Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sehingga tahun baru ikut dirayakan tanggal 1 Januari. Hari-hari di awal tahun baru ditandai dengan Hatsumode berupa kunjungan pertama ke kuil agama Shinto dan Buddha. Makanan khas tahun baru disebut Osechi, salah satunya adalah sup zoni dari kuah dashi yang berisi mochi dan sayur-sayuran. Penutupan perayaan tahun baru ditandai dengan memakan bubur nanakusa yang dimasak dengan 7 jenis sayuran dan rumput.

Masyarakat Ethiopia merayakan tahun baru yang disebut Enkutatash dan jatuh setiap tanggal 11 atau 12 September. Tahun baru akan selalu jatuh di tanggal ini pada tahun 1900 hingga 2099, namun akan jatuh di tanggal yang berbeda pada abad yang lain.

Tahun baru sebagai sebuah perayaan ketika merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya memang hanya akan terjadi di suatu kebudayaan yang memiliki kalender tahunan. Dengan begitu banyaknya populasi di dunia, masing-masing dengan kebudayaan yang berbeda-beda, maka tidak mengherankan jika ada banyak tahun baru yang dirayakan. Namun ada satu kesamaan, semuanya dirayakan dengan penuh keriangan, karena tahun baru adalah saat dimana banyak harapan baru mulai disemai dan tumbuh. (dari berbagai sumber)

Pulanglah Dia Si Arca Hilang

Beberapa orang mungkin menganggap topik ini usang, tapi sengaja kami angkat kembali demi membuktikan tak semua manusia yang hidup di Indonesia memiliki sifat latah yang sudah membudaya. Untuk mengetahui seberapa latahnya bangsa ini, mungkin kita bisa memundurkan ingatan beberapa tahun ke belakang, saat maraknya berita soal penemuan 'hobbit' yang dengan bangganya diumumkan Australia kepada dunia internasional. Seketika Indonesia kebakaran jenggot, lalu berubah marah dan gusar, sebab penemuan penting di tanah air malah diumumkan seenaknya oleh Mike Morwood dan Peter Brown dalam sebuah konferensi pers di Sydney, Australia, tanpa kehadiran peneliti Indonesia.

Malang benar nasib Indonesia. Punya lahan yang kaya artefak dan situs penting, punya peneliti sendiri yang mampu meneliti artefak-artefak tersebut, namun tak punya dana hingga terpaksa bekerja sama dengan negara lain, penyokong yang kemudian mengambil alih penelitian tersebut. Tapi hanya segitu saja, setelah media dan beberapa kelompok masyarakat puas merasa panik dan marah akan kasus tersebut, maka semuanya terlupakan.

Kasus dengan negara tetangga juga tak jauh berbeda. Ketika Malaysia sang 'saudara serumpun' menggunakan lagu Rasa Sayange untuk website kebudayaan mereka, serentak seluruh rakyat Indonesia marah, terutama karena setelah Rasa Sayange, ada pencurian beruntun lainnya. Internet dijadikan media ketika banyak orang menumpahkan kemarahan mereka di beberapa forum bebas maupun blog, bahkan hacker asal Indonesia sempat membajak situs tersebut. Tapi setelah itu apa?

Kembali pada kasus pencurian benda-benda purbakala di Museum Radya Pustaka yang berhasil terkuak, lingkaran setan yang sama juga kembali terulang. Pembahasan ramai dimana-mana, mengenai Hasjim, Krueger, lemahnya mental dan pengawasan para pegawai museum, sampai ketakcakapan pemerintah. Namun seiring dengan berjalannya waktu maka berita mengenai Hasjim, atau Museum Radya Pustaka-pun makin jarang ditemui.

Dimulai dari terkuaknya keberadaan arca-arca palsu di Museum Radya Pustaka tahun 2007 kemarin. Untunglah dua petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengendus ketidakberesan pada arca yang tersimpan di ruang belakang Radya Pustaka, September lalu. Kecurigaan itu muncul sebab arca Agastya di museum tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan wujud di dalam foto dokumen BP3 yang diambil pada 2001. Ternyata tak hanya satu arca yang palsu, Agastya memiliki empat 'teman' lain yang juga bernasib sama, yaitu Durga Mahisasura Mardini, Durga Mahisasura Mardini II, Siwa, dan Mahakala.

Terkuaknya kasus lima arca tersebut mendorong penyelidikan lebih lanjut, hingga BP3 Jawa Tengah mengumumkan ada enam benda koleksi lain yang telah hilang dan dipalsukan, yaitu dua arca perunggu, sebuah kap lampu perunggu, dua buah keramik yang salah satunya berasal dari Dinasti Ming, dan sebuah tempat buah-buahan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Pakubowono X.

Jumlah tersebut memang bukanlah kerugian yang sedikit, namun tanpa bermaksud mendukung pencurian yang melanggar hukum tersebut, terpikirkan oleh kami, benarkah arca-arca tersebut dalam keadaan yang lebih baik jika berada di tangan museum dan pemerintah? Kalau beberapa museum yang sudah kami kunjungi seperti Museum Nasional dan Fatahillah, bisa dijadikan patokan bagi kualitas museum-museum di Indonesia, maka bisa dipastikan museum adalah tempat yang mengerikan bagi benda-benda bersejarah tersebut. Pasti sudah banyak yang tahu betapa arca-arca di museum dalam kondisi yang aus dan berjamur, terlihat seperti tak dirawat sama sekali. Alasannya? Klise: kurang dana dan kurang orang.

Jika demikian, mungkin saja akan lebih baik arca-arca tersebut dicuri dan dibeli oleh kolektor pribadi yang mampu merawat mereka dengan lebih baik. Pencurian benda bersejarah yang dilindungi hukum memang salah, namun menelantarkan benda tersebut adalah tindakan yang sama salahnya.

Mungkin suatu ketika, saat museum kita sudah mampu memperlakukan museum kita benda-benda koleksi mereka dengan lebih 'manusiawi', maka mungkin itulah saat paling pantas bagi orang Indonesia untuk mengutuk pencurian dan pejualan ilegal benda-benda cagar budaya milik negara.