Monday, May 10, 2010

Menelusuri Awal Penjajahan di Indonesia: Pendekatan "Legal-Method Intention"


Apa itu "Penjajahan"?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ed.III Depdiknas Balai Pustaka hal.51 tahun 2005 "Penjajahan" mengandung arti:

1. jajah: menjajah berarti keluar-masuk suatu daerah (negeri, dsb)
2. menguasai dan memerintah suatu negeri. Belanda menjajah kita lebih kurang 350 tahun lamanya.

Sedangkan menurut The World Book of Encyclopedia vol.14/92 hlm. 384 adalah :

"Occupancy is a legal-method by which a person or nation acquires title to something that no-one else own"

To gain title to a thing by occupancy a person or nation must take possession of the thing with the intention of keeping it.

Maka pertanyaan yang muncul adalah:

Apa yang dimaksud dengan "legal-method intention"? Kapan hal tersebut mulai tercatat dalam sejarah Indonesia? Benarkah Indonesia dijajah sejak 350 tahun yang lalu?

Tidak diragukan, bahwa sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 2010 ini, maka Indonesia telah merdeka selama 64 tahun lebih beberapa bulan. Tetapi jika kita berbicara tentang kapan awal terjadinya “praktek” penjajahan di negeri kita maka akan ada beberapa data sejarah yang menarik untuk ditelisik.

KBBI (juga beberapa buku pedoman sejarah di sekolah) memberikan kisaran angka 350 tahun atau 3,5 abad sebagai masa berlangsungnya “praktek” penjajahan yang terjadi di Indonesia. Dari mana asumsi tersebut berasal? Jika kita tarik mundur,angka yang berkaitan dengan 350 tahun adalah dimulai dari tahun 1595 atau abad ke 16 (Hitung: 1945 ke 1595 = 350).

Mengapa 1595? Tahun 1595 adalah masa ketika Cornelis de Houtman bertolak dari Belanda menuju Indonesia dan tiba di Banten kurang lebih setahun setelahnya. Menurut M.C Ricklefs, pada bulan Juni 1596 Kapal-kapal De Houtman tiba di Banten di situ orang-orang Belanda langsung terlibat konflik, baik dengan orang-orang Portugis, maupun dengan orang-orang pribumi.

Disebutkan pula De Houtman melakukan banyak penghinaan dan menyebabakan kerugian yang besar di setiap pelabuhan yang dikunjunginya. Tahun 1597 sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Mulailah kemudian dikenal sebagai zaman pelayaran 'liar' atau tidak 'teratur' (wilde vaart) yang ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusaan ekspedisi belanda yang saling bersaing dan memiliki keinginan kuat (intention) terhadap rempah-rempah yang ada di Indonesia.

Pada bulan Maret 1602, Perseroan yang saling bersaing tersebut membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur (VOC). Kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis memilki sejumlah direktur yang semuanya berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII.

Ricklefs menambahkan bahwa personel VOC di Asia tidaklah selalu bermutu tinggi. Meskipun VOC merupakan organisasi milik Belanda tetapi sebagian personelnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang bernasib jelak dari seluruh Eropa-lah yang mengucapkan sumpah setia. Ketidak berdayaan, ketidakjujuran, nepotisme dan alkoholisme tersebar luas di kalanagn VOC. Terjadi banyak kekejaman yang menurut pikiran modern sangat menjijikkan.

Berdasarkan 'pengorganisasianya' maka kita dapat menyebut 1602 sebagai awal dari "legal-method intention". Mengapa? karena VOC mempunyai struktur/rancangan/metode yang secara legal diberikan oleh Parlemen Belanda yang salah satunya dikenal dengan hak Octroii sebagai cara untuk 'menguasai' Indonesia. Melalui hak tersebut, kongsi dagang yang diberi semacam hak 'tatanegara' dari pemerintah Belanda untuk mengatur pemerintahan di Indonesia.

Hak octroii terkenal dengan undang-undang yang merugikan rakyat; diantaranya melakukan monopoli, melakukan peperangan, membangun benteng-benteng, mengadakan perjanjian-perjanjian dan kewajiban contingenten; yaitu rakyat dipaksa menanam komoditas yang laku di pasar dunia.

Kewajiban inilah yang kemudian memancing kemarahan rakyat sehingga terjadi berbagai perlawanan. Perlawanan-perlawanan tersebut semakin memperjelas bahwa 'praktek' (baca: penjajahan) telah terjadi karena mereka bersinggungan dengan rakyat sebagai landowners.

Sehingga, asumsi bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun, secara de-jure, sudah mulai terjadi pada tahun 1595. Namun secara de-facto, "legal-method intention" terjadi pada tahun 1602.

Namun, tentu saja definisi ini merupakan pendekatan untuk mengetahui awal penjajahan Belanda di Indonesia. Karena sebagian ahli sejarah tetap berpendapat, Belanda tidak menjajah Indonesia selama 350 tahun. Karena hingga awal abad 20 pun masih tetap terjadi perlawanan.

Seperti misalnya yang terjadi di Bali. Setelah peristiwa Puputan Klungkung dan "menyerahnya" Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban, baru pada 2 Oktober 1908, Bali dapat seluruhnya dikuasai Belanda. Hal yang sama terjadi di Aceh, dikabarkan Belanda baru dapat menguasai Aceh pada tahun 1908. (Rusyanti)

Monday, March 22, 2010

Bagaimana Cara Membuat Candi?

Manusia masa kini hanya tahu wujud candi setelah jadi, itupun kebanyakan dalam keadaan tak lagi sempurna. Sebagian orang hanya mengagumi keindahan, kemegahannya, atau—mungkin—kekunoannya, hingga tak sempat terbersit untuk memikirkan bagaimana candi-candi itu dibuat.

Padahal, candi juga mengalami proses pembangunan, sama seperti bangunan zaman sekarang. Hanya saja, pada masa itu belum ada semen dan alat-alat bangunan modern lainnya. Lalu bagaimana para nenek moyang membangun bangunan suci ini?

Membuat candi, sudah tentu, tak semudah membuat gedung mutakhir. Ada banyak hal-hal penting dan sakral yang harus dilakukan sebelumnya.

Pertama, Yajamana (orang yang berniat membangun candi) harus menghubungi Maha Brahmana dengan para pekerjanya yang disebut Silpin. Mereka akan mencari tempat yang kira-kira pas untuk candi. Biasanya tempat yang paling digemari adalah lahan di dekat air.

Lebih bagus lagi jika lokasinya di dekat pertemuan dua sungai (tempuran). Ada juga beberapa lahan terlarang untuk lokasi candi yang harus dihindari. Misalnya tanah bekas pembakaran mayat, tanah berpasir, tanah berbatu, dan tanah rawa.

Setelah ditemukan, maka mulailah tahap pemeriksaan tanah. Tahap pertama adalah Bhupariksa. Bhupariksa bisa dilakukan lewat dua cara, cara magis atau cara biasa. Jika lewat cara biasa, maka yang pertama diperiksa adalah kepadatan tanahnya. Caranya bermacam-macam. Cara yang pertama, tanah digali lalu diisi air dan dibiarkan selama 24 jam.

Esok harinya tanah itu diperiksa. Jika air terserap habis atau hanya tersisa sedikit artinya tanahnya tidak bagus karena terlalu gembur. Jika air berkurangnya cuma sedikit, artinya juga sama. Tanah yang paling baik jika air hanya tersisa setengah. Selain lewat cara ini, cara lain untuk memeriksa kepadatan tanah adalah dengan menggali lalu diurug lagi. Lahan tak akan dianggap baik jika setelah diurug tanahnya terlalu sedikit atau berlebihan, jadi harus sama rata.

Lalu masuklah tahap kedua. Di tahap ini yang diuji adalah kandungan gas tanah. Caranya? Pada malam hari diletakkan clupak (pelita dari tanah liat) di atas tanah yang dimaksud. Jika setelah dinyalakan apinya langsung padam, artinya tanah banyak mengandung gas beracun. Jika api menyala tapi mengarah ke selatan, tanah tak dianggap baik karena selatan adalah arah dewa kematian (dewa Yama). Yang paling baik jika api menyala tegak lurus.

Tahap ketiga menguji kesuburan tanah. Tanah diairi, dicangkul, dibajak, lalu ditaburi benih. Jika benih berhasil tumbuh dalam waktu 1-2 hari maka tanah ini adalah tanah brahmana (kualitas nomor wahid). Jika benih berhasil tumbuh dalam waktu 3-4 hari disebut tanah ksatria (masih lumayan walau tak sebaik jenis brahmana). Jika tumbuh dalam waktu 5-6 hari di sebut tanah waisya. Kalau menemukan tanah jenis ini, terserah masih mau digunakan atau dibuang. Dan terakhir, jika tumbuhnya lebih dari 7 hari maka disebut tanah sudra. Tanah sudra tidak disarankan untuk digunakan dalam pembangunan bangunan suci.

Tes dilanjutkan dengan menguji warna dan bau tanah. Tanah Brahmana biasanya berwarna seperti mutiara dan berbau harum sementara tanah ksatria berwarna merah dan berbau darah. Tanah waisya berwarna kuning keemasan, dan tanah sudra berwarna gelap atau kelabu.
Akhirnya Bhupariksa selesai.

Saatnya membangun candi! Lahan yang dipilih dibatasi dengan benang putih berbentuk persegi dengan garis diagonal yang juga ditandai dengan benang. Maka didapatlah titik tengah yang disebut Brahmasthana. Artinya ‘tempat bersemayamnya Dewa Brahma.’ Nah, setelah itu dibuatlah kotak-kotak atau grid. Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri dari satu nama dewa.

Titik tengah tempat bersemayamnya Dewa Brahma tadi digali 1×1 meter lalu didasarnya diletakkan peripih (Garbhapatra). Peripih tersebut berisi benda-benda perlambang panca maha bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air, api, dan angin. Simbol-simbol yang digunakan bisa berupa biji, benang, kertas emas (biasanya bertuliskan mantra atau nama dewa), cermin perunggu, dan tulang hewan

Untuk unsur api biasanya diwakilkan oleh abu. Karena itulah ahli-ahli Belanda zaman dulu mengidentikkan candi dengan makam. Kelak pendapat ini ditentang R. Soekmono, tapi sayangnya sampai sekarang beberapa tulisan mengenai candi masih menggunakan pendapat lama orang-orang bule ini.

Kembali lagi ke Brahmasthana. Diatas titik tengah inilah biasanya dibangun candi induk. Namun ada banyak candi di Indonesia yang tidak menerapkan aturan ini, misalnya Candi Prambanan yang titik tengahnya berada di dekat tangga.

Lalu bagaimana proses pembangunan candi itu sendiri? Kurang lebih sama dengan pembangunan gedung modern. Bahan-bahan dikumpulkan, batu-batunya (atau bata) disusun, lalu dibuat berbagai macam hiasan yang membuat candi jadi kelihatan lebih oke.

Tapi ada teknik penyusunan batu maupun bata yang khas dari candi. Untuk candi berbahan bata tekniknya lebih sederhana. Bata digosokkan satu sama lain sampai tercipta bubuk yang dapat berperan seperti semen lalu diperciki dengan air.

Dijamin kuat, bahkan mungkin jauh lebih kuat dari semen modern. Buktinya setelah ratusan tahunpun bangunan-bangunan ini masih bertahan. Tapi candi yang menggunakan batu lebih rumit karena batu-batu tersebut disambung-sambung satu sama lain. Ada banyak teknik sambungan batu yang kita kenal, salah satunya teknik sambungan batu langsung.

Caranya? Di salah satu permukaan sebuah batu dibuat sebuah tonjolan, dan di batu lain di buat semacam ‘lembah’ yang cocok dengan batu satunya lagi. Jadi mirip seperti puzzle yang dicocok-cocokkan satu sama lain. Ada juga sambungan batu pengunci. Dengan teknik ini, batu-batu dikaitkan lewat bantuan batu pengunci di tengah-tengah kedua batu itu.

Rumit memang. Makanya harus pikir-pikir lagi jika ingin mencorat-coret candi dengan berbagai macam aksi vandalisme dan perusakan. Semenit bagi kita untuk merusak, namun butuh seratus tahun bagi para nenek moyang untuk membangun. Ironis! (Khairun Nisa/berbagai sumber. Sumber gambar: borobudur.tv)

Monday, February 2, 2009

Cantik versi Kitab Jawa/Bali Kuno


Susahnya menjadi wanita terletak pada keharusan untuk tampak cantik. Walau tak ada peraturan tertulis, wanita yang tidak tampil cantik seolah telah melakukan dosa terbesar abad ini. Ada konstruksi umum tentang cantik: Tinggi, langsing, dan berkulit putih.

Namun yang paling menyiksa adalah keharusan bertubuh langsing. Banyak cara aneh, bahkan tidak masuk akal, ditempuh banyak wanita demi memperoleh yang satu ini. Mulai dari olah raga yang normal hingga bulimia. Padahal di masa lalu, dunia sangat memuja wanita gemuk. Lihat saja Monalisa yang dilukis Leonardo da Vinci.

Tak hanya Monalisa, lukisan-lukisan wanita lainnya dari Eropa di masa lalu dipenuhi oleh tokoh dengan tubuh berisi. Bukan cuma Eropa tentu saja. Cina dan India juga pernah memuja wanita bertubuh gemuk. Negara-negara Arab, termasuk Mesir, bahkan masih melakukannya hingga sekarang. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Standar kecantikan macam apakah yang dimiliki nenek moyang kita di masa lalu?

Untuk mengetahuinya, kita harus mengorek kitab-kitab sejenis Kamasutra. Eits, jangan hanya berpikir ngeres ketika membicarakan kitab ini. Selain informasi yang bersifat seksual, kitab-kitab ini juga memuat keterangan tentang wanita yang baik untuk dijadikan istri, termasuk ciri fisik. Ada beberapa kitab-kitab karya pujangga kuno Indonesia yang memuat keterangan mengenai wanita. Diantaranya adalah Aji Asmaragama, Katurangganing Wanita, Niti Mani, dan Serat Centini.

Kitab Katurangganing Wanita memaparkan tipe wanita baik yang disebut Estri Kencana dan Retna Kencana. Wanita tipe Estri Kencana memiliki tubuh besar, kulit hitam, rambut lemas, dan sifat lemah lembut. Sementara tipe Retna Kencana memiliki kulit kuning, rambut sedikit kaku berwarna kemerahan dengan bagian ujung yang lebat dan halus, serta kaki kecil. Wanita tipe ini memiliki sifat jujur dan setia. Tipe wanita yang sebaliknya adalah Tipe Raksesa dan Durgasari. Wanita Tipe Raksesa memiliki kulit kemerahan, rambut lemas, dan dada besar. Wanita tipe ini dapat membuat suaminya lekas mati. Wanita Tipe Durgasari memiliki leher panjang dan roman muka yang kasar.

Tak hanya kitab tentang wanita. Kitab Pararaton yang notabene berisi kisah Ken Arok, juga menyebutkan tipe wanita paling baik (adimukyaning istri) yang disebut stri nariswari. Wanita ini memiliki tanda-tanda murub rahasyanipun (menyala rahasianya). Contoh wanita tipe ini adalah Ken Dedes. Bukan rahasia lagi bahwa Ken Dedes adalah wanita pujaan. Tak hanya cantik, siapapun yang menikahinya akan menjadi raja dunia.

Selain Ken Dedes, contoh wanita cantik di zaman dahulu adalah Sri Tanjung. Sri Tanjung merupakan tokoh cerita yang dituduh berkhianat dan dibunuh oleh suaminya, Sidapaksa. Ra Nini yang menyelamatkan Sri Tanjung dari maut menggambarkannya sebagai wanita cantik dengan pantat yang bentuknya seperti limas yang baik. Betisnya bagaikan bunga pudak yang indah. Dan telapak kakinya seperti gamparan (alas kaki) gading.

Di Bali kuno, tipe wanita cantik disebut adeg nyempaka. Wanita jenis ini digambarkan menyerupai bunga cempaka. Apalagi jika wanita tersebut memiliki sujen pipi (lesung pipi). Wanita tipe ini digambarkan akan memberi kesenangan pada suaminya.

Dari situ, jelas terlihat standar kecantikan zaman dahulu di Indonesia, khususnya di Jawa, berbeda dengan standar kecantikan masa sekarang. Tubuh kurus bukanlah suatu keharusan. Demikian juga kulit putih dan tubuh tinggi semampai. Melihat perubahan standar tersebut, bukan tidak mungkin suatu saat nanti wanita yang dianggap cantik adalah wanita berkulit gelap dengan tubuh gemuk dan pendek. Kita tunggu saja. (Nisa)

Arkeologi: Kerja Tak Kunjung Selesai

Apa yang ada di kepala kita ketika mendengar kata “arkeologi"? Jawabannya berbeda-beda. Arkeologi adalah: fosil, dinosaurus, penggalian, Indiana Jones, peneliti, dan ilmuwan. Kutipan dibawah ini mungkin cukup mewakili paradigma yang sering kali direpresentasikan oleh masyarakat populer dewasa ini.

“Archaeology is partly the discovery of the treasures of the past, partly the meticulous work of the Scientific analyst, partly the exercise of the creative imagination..”
(Bahn, 1996:11)

Dengan kemajuan teknologi yang pesat dewasa ini, pernyataan diatas dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk visual yang mengagumkan oleh tangan-tangan creationist. Yup! Lihatlah perburuan harta karun yang menegangkan di situs Angkor Wat oleh jagoan perempuan bernama Lara Croft dengan latar belakang dunia arkeologi. Penelitian untuk memecahkan serangkaian teka-teki rumit dalam bentuk novel detektif karya Agatha Christie yang terinspirasi oleh suaminya yang juga arkeolog. Simak juga film fiksi karya Steven Spielberg yang fenomenal, sebuah karya imajinasi kreatif di luar batas nalar: Jurassic Park. Inilah bungkusan arkeologi dalam dunia konsumsi di era nanoteknologi. Disadari atau tidak, karya-karya ini cukup mempopulerkan dunia arkeologi kepada masyarakat umum, terutama bagi para pelajar yang ingin meneruskan studinya ke tingkat yang lebih tinggi.

www.archaeology.org
www.archaeology.org

Di Indonesia sendiri "arkeologi" bukanlah hal yang populer. Gaungnya tidak selaris "ekonomi". Secara institusional hanya ada 4 universitas yang menggodok calon-calon arkeolog. Keempat universitas ini adalah UI, UGM, UDAYANA, dan UNHAS. Di UI sendiri animonya masih cukup bagus. Rata-rata daya tampung untuk tiap tahunnya sekitar 20-40 kursi. Menurut Irmawati Johan, Sekjur Arkeologi-UI, motif para mahasiswa baru terhadap arkeologi bervariasi dari mulai kesadaran penuh menggapai cita-cita, terinspirasi berbagai film dan buku, hingga yang merasa terjebak dan pada akhirnya tertawan akan nama besar UI. Namun ada pula mahasiswa yang benar-benar menemukan dirinya setelah ia mengenal ilmu ini secara lebih mendalam.

Calon-calon arkeolog muda ini tentunya akan menghadapi berbagai tantangan yang besar ketika mereka pada akhirnya harus berhadapan dengan realita yang ada di luar. Jangan terlalu berharap akan menemukan petualangan spektakuler seperti yang digambarkan dalam layar lebar atau sedramatis novel, karena yang terlihat dibalik layar belum tentu sama dengan kenyataannya.

Tergusurnya situs-situs arkeologi baik yang sekarang terjadi dan dimasa yang akan datang merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi dan penguasaan kapital. oleh karena itu perjuangan kita seringkali akan berbenturan dengan penguasa dan kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, jumlah situs-situs yang pastinya meningkat tiap 50 tahunnya, memerlukan penanganan yang menyeluruh dan menuntut peningkatan kompetensi tiap individunya dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin cepat.

Untuk menghadapi tantangan ini dalam metode pengajarannya, jurusan arkeologi UI menerapkan sistem PBL (Problem Based Learning) yang berorientasi pada mahasiswa sebagai objek (Student Centered). Sistem ini menuntut mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif dan kritis. Sedangkan dosen sendiri lebih bersifat fasilitator. Pada penerapannya, memang masih banyak ditemukan adanya kekurangan terutama pada masalah fasilitas yang menunjang perkuliahan. Walau begitu pengajar menginginkan agar mahasiswanya mampu bersaing dengan dunia luar untuk memajukan arkeologi di Indonesia. Keterbatasan hendaknya tidak dijadikan hambatan untuk terus maju. Tidak ada cara lain bagi kita selain giat belajar dan berusaha meraih segala peluang yang ada dengan penuh tanggung jawab.

Sebagai ilmu yang tidak terlalu populer di Indonesia, bidang karir untuk dunia inipun tidak banyak, ditambah lagi dengan jumlah angkatan pencari kerja yang berjumlah 40 juta lebih, menjadikan persaingan semakin sulit. Banyak ahli-ahli budaya yang berkarir di bidang lain dan sebaliknya. Peluang sebenarnya tetap ada. Banyak Balai-balai arkeologi, Suaka purbakala maupun museum-museum yang tersebar di seluruh Indonesia. Yang diperlukan sekarang adalah keberanian untuk out of Java dan pembenahan manajemen sumber daya budaya kearah yang lebih baik. The right man in the right place nampaknya sulit di terapkan di Indonesia.

Tapi di balik segala masalah yang pelik ini, gemerlapnya layar hiburan yang membius para treasures seeker, menumpuknya angkatan pencari kerja, angkuhnya tembok-tembok penguasa dan budak kapital penjual aset-aset bangsa.... Lebih dari sekedar produk konsumsi, Arkeologi mengusung nilai yang lebih penting lagi yaitu sebuah proyek idealis yang menuntut tanggung jawab bersama demi kemanusiaan dan identitas bangsa yang mau tidak mau harus diteruskan kepada generasi penerus dan pelurus bangsa yang tidak hanya “mentok” pada batasan-batasan karir semata. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Calne:

“Keselamatan kita, sebagai hewan sosial, tergantung pada kemampuan kita berbicara dan mengerti, dan keampuhan kebudayaan moderen berasal dari terciptanya tulisan barang lima ribu tahun yang lalu. Semua peradaban besar di dunia ini sekarang dibangun diatas dasar manfaat tulisan dan bacaan. Dan jauh sebelum itu... apa yang kita tahu mengenai sejarah pratulis adalah berkat arkeologi...”
(Calne, 2005: 38&84)

Untuk menjawab tantangan ini, dewasa ini banyak sekali komunitas-komunitas pencinta budaya di Indonesia dengan berbagai visi dan misi. Selain sebagai sarana berkreasi, dan mengintelektualisasikan diri,...komunitas ini mampu memperlihatkan eksistensinya ditengah arus globalisasi ekonomi yang semakin gencar. Lihatlah kreatifitas kelompok yang terkenal dengan Dagadu atau Joger-nya. Dengan tetap mengusung tema pelestarian budaya, kelompok-kelompok ini mampu menghasilkan keuntungan dan nama besar, sekaligus membuka peluang kerja.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Negeri ini menyimpan banyak potensi baik propinsi, suku-bangsa, bahasa, adat-istiadat, macam kuliner, dan lain-lain yang tersebar di 276.000 pulau dengan kandungan potensi arkeologi yang belum tergali. Itu merupakan aset yang sangat berharga. Siapa lagi yang akan memberdayakannya selain kita sebagai generasi penerus bangsa?

Jadi sebenarnya, Archaeology is a dynamically expanding subject. Calne mengingatkan kita bahwa, lebih dari romantisme akan kenangan masa lalu, arkeologi merupakan dasar dari terbentuknya peradaban moderen sekarang ini. Arkeologi memberi kita “harta karun” agar belajar dari sejarah untuk masa depan yang lebih baik.

Peluang karir yang sesuai mungkin terbatas di dunia nyata, tapi tidak dalam imajinasi

Lihatlah biografi JFK, Sukarno, Bill Gates, Sayyid Quthb. Mereka semua adalah pengkhayal. Imajinasi merupakan tulang punggung penyangga kreativitas dan sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan (Annis Matta) kita. Kecintaan kita pada Arkeologi dapat ditransformasikan dalam berbagai bentuk dan kreasi. Jadilah aktif, kritis dan kompeten. Teruslah berkarya dan ingat:

“Everything that You Can Imagine Is Real”
(Albert Einstein)

(Rusyanti)

Monday, December 22, 2008

Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia

Pendahuluan

“Knowledge is power”

Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.

Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.

Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.

Pendidikan Masa Hindu-Buddha

Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.

Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.

Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.

Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.

Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.

Pendidikan Masa Islam

Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).

Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).

Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.

Pendidikan Masa Kolonial

Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.

Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.

Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.

Pendidikan: Berawal dari Keluarga

Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran.

Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.

Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi.

Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga. (Bayu Galih/Rusyanti/Rian Timadar/Khairun Nisa, Mei 2008)

Pustaka:

Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Santiko, Hariani.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.

Ekadjati, Edi S.
1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.