Tuesday, October 23, 2007

Lebaran dan Ragam Budaya Indonesia

Di negeri kami, Indonesia, Lebaran merupakan suatu keunikan. Lihat saja dari penggunaan Ketupat sebagai atribut utama perayaan. Sebuah simbol yang memperlihatkan keanekaragaman budaya. Sehingga Lebaran kami pun tidak harus identik dengan unta dan pohon kurma.

Biasanya setelah Sholat Ied, seluruh keluarga berkumpul untuk tradisi sungkeman, tanda bakti anak kepada orang tua. Ayah berpakaian batik dan Ibu berpakaian kebaya, jenis-jenis pakaian tradisional negeri kami, yang kini diklaim Malaysia. Selain itu beberapa dari kami juga menggunakan baju koko, perpaduan tradisi Cina dan Nusantara, tapi kami tidak pernah mengklaim baju koko berasal dari Indonesia.

Setelah keluarga inti saling bermaafan, kami kedatangan keluarga besar. Paklik Heru yang baru menikah dengan gadis Palembang datang paling awal. Bibi baru kami terlihat cantik dengan kain songket yang dikenakan. Kata Bibi, songket itu pun direncanakan akan dipatenkan oleh Malaysia.

Setelah paman datang, Bulik Rina dan Paman Fauzan tiba sekitar setengah jam kemudian. Setelah Ibu mempersiapkan hidangan untuk disantap beramai-ramai. Ada Opor Ayam dan Rendang yang menemani Ketupat. Paman Fauzan kemudian bersungut-sungut kesal ketika bercerita kalau Rendang, makanan Padang, dipatenkan juga oleh Malaysia.

Ayah lalu berusaha menenangkan. Beliau juga bercerita kalau lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku juga diduga merupakan jiplakan lagu Terang Bulan yang sering dinyanyikan kakek. Jadi menurut Ayah seharusnya Pemerintah Indonesia lebih peduli akan hak cipta. Tapi lagu Rasa Sayange sekarang juga diklaim Malaysia.

Begitulah biasanya Lebaran di negeri kami Indonesia, kaya akan ragam budaya. Mungkin disebabkan juga metode dakwah Sunan Kalijaga yang intensif melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui Budaya. Bahkan Sunan Kalijaga pun memodifikasi wayang, yang menurut J. L. A. Brandes merupakan kesenian asli Indonesia selain Batik, dalam metode dakwahnya. Tapi bahkan sekarang wayang juga diklaim Malaysia.

Begitulah negeri kami Indonesia. Kaya ragam budaya, tapi miskin kesadaran budaya. Semoga anak-anak kami tidak menjadi seperti pendahulunya. (Oktober, 2007)

Thursday, September 27, 2007

Tradisi Kuliner Nusantara

Tradisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia memperkenalkannya sebagai adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Umumnya berkaitan dengan hal-hal yang religius. Tapi tradisi tidak selamanya identik dengan ritual yang khusyuk. Tradisi juga bisa dalam bentuk segala macam kelezatan, lho!

Ini terlihat dalam tradisi aneka ragam makanan khas Nusantara. Tidak sekedar untuk mengisi perut atau mencari kelezatan semata. Tradisi kuliner khas Nusantara ternyata kaya dengan arti dan makna. Berkenaan dengan tradisi Ramadhan, beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi kulinernya sendiri, baik dalam menyambut atau menjadi hidangan nikmat saat berbuka.

Munggahan misalnya. Tradisi yang terkadang juga dilafalkan sebagai Punggahan ini dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian selatan. Disebut demikian karena mereka menganggap orang yang berpuasa itu munggah atau meningkat perasaannya. Biasanya dipersiapkan sajian dengan tujuh jenis lauk-pauk seperti sambal goreng, bakmi, gudangan (urap), tempe, daging/ayam goreng, telur, dan acar. Lauk yang memiliki cita rasa beragam ini dimaksudkan untuk melambangkan manusia yang mempunyai karakter dan kesenangan yang berbeda-beda. Walau aslinya berasal dari pulau Jawa, namun seiring dengan meluasnya populasi orang Jawa di daerah lain masyarakat luar Jawa juga mengenal tradisi ini.

Khusus Yogyakarta dan Solo, Ramadhan disambut dengan sajian ‘tiga serangkai’ yang terdiri dari ketan putih, kolak, dan apem. Ketan, yang kecil-kecil ukurannya namun menjadi satu dan saling melekat, melambangkan banyaknya orang yang menjalankan puasa dan menjadi satu. Ketan juga mengandung makna mengirim doa dan pengharapan agar arwah leluhur mendapat tempat yang baik di sisi Tuhan. Sedangkan putih melambangkan niat suci untuk memasuki bulan puasa, serta sudah bersatunya pikiran dan jiwa untuk menjalankan perintahNya.

Adapun apem yang berbentuk bulat seperti payung melambangkan kebulatan tekad untuk memohon perlindungan kepada Tuhan dan permohonan maaf bagi arwah leluhur kepada Tuhan. Kata apem juga berasal dari bahasa Arab, afwun, yang artinya permintaan maaf atau ampunan.

Sementara kolak berasal dari bahasa Arab, qola. Artinya, pernyataan atau ucapan syukur akan datangnya Ramadhan dan ibadah puasa yang akan dijalankan. Selain itu, juga sebagai pernyataan ikhlas menerima tugas agama ini.

Hmm... Ternyata selama ini hidangan yang kita santap saat berbuka mempunyai maknanya. Semoga saja makna itu tidak menghilang secepat kita menyantapnya. Ada yang tahu makna makanan tradisional lain? *dari berbagai sumber* (September, 2007)

Thursday, September 6, 2007

Sejarah di Balik Nama?

Shakspeare, seorang sastrawan Inggris, pernah mengatakan: "What's in a name?" Tentu jawabnya bisa bermacam-macam. Walau bunga Mawar tetaplah wangi walau tidak tidak bernama Mawar. Jauh sebelumnya di jazirah Arabia, seorang Muhammad pernah mengatakan bahwa nama adalah doa, ada pengharapan ketika orang tua menamakan bayinya.

Tapi kita tidak bicara tentang nama yang melekat pada manusia. Lebih menarik apabila mengetahui latar belakang nama suatu wilayah. Ada proses panjang yang terjadi di sana: Baik itu proses sejarah, maupun latar belakang budaya yang melatarbelakangi pembentukan nama. Suatu proses yang tidak jarang membuat kening manusia berkernyit: Heran, takjub, atau bahkan merinding. Hingga tidak jarang sebuah nama terjadi bukan karena sebuah pengharapan, tapi lebih ke takdir. (It's a little bit debatable, isn't it?)

Seperti misalnya nama Kampung Pecah Kulit, di Jakarta Utara. Dinamakan "Pecah Kulit" karena adanya eksekusi oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap seorang londo yang bernama Pieter Erbeveld. Kesalahan Pieter adalah mendukung perjuangan inlander melawan VOC (Untuk jelasnya baca Adolf Heuken, Historical Sites of Jakarta). Eksekusi berjalan parah. Kedua kaki dan kedua tangan Pieter diikat di kuda, kemudian kuda-kuda tersebut berlari kencang ke empat penjuru mata angin. Maka pecahlah badan, juga kulit, Pieter. Tak hanya itu, kepalanya juga digantung untuk dijadikan monumen peringatan bagi para inlander. Sejak itu, wilayah itu dinamakan Kampung Pecah Kulit. Nama yang diambil dari pecahnya kulit Pieter Erbeveld. Oh... Seraaamm...

Ada lagi, nih. Selama ini, orang mengetahui nama Betawi berasal dari lidah penduduk pribumi yang kesulitan menyebut Batavia. Tapi ada sejarah nama lain dari Betawi, walau tidak familiar dan marjinal. Konon, tentara Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung yang mengepung Batavia saat itu kehabisan amunisi. Tak hilang akal, Sultan Agung kemudian meminta prajurit-prajuritnya mengumpulkan kotoran, alias tahi, untuk dijadikan amunisi. Setelah terkumpul banyak, tahi-tahi itu lalu dilemparkan ke dalam kota Batavia. Tentu saja "semerbak harumnya" tahi tersebut menyebar ke penjuru kota. Hingga orang-orang berteriak, "Mambu tai, Mambu tai," yang kemudian terdengar seperti Betawi.

Yah, setidaknya itulah yang diceritakan almarhum Ajatrohaedi, seorang ahli sejarah nama, yang juga guru kami tercinta. Sejarah nama itu sendiri dikenal di dunia akademisi dengan nama ilmu Toponimi. Suatu bidang ilmu yang oleh Mang Ajat dinamakan ke bahasa Indonesia: Widyaloka. Sayang, ilmu ini belum begitu berkembang di sejarah-budaya Indonesia.

Oh iya, sekedar info. Tahukah Anda kalau ternyata nama Margonda Raya, yang terbentang sedemikian panjangnya di Depok, diambil dari nama pahlawan legendaris Depok: Margonda. (Agustus, 2007)

Sunday, August 12, 2007

Sejumlah Tanya tentang Keajaiban Dunia

Sebenarnya sangat sulit untuk mendefinisikan keajaiban dunia. Apakah keajaiban dunia merupakan hasil kreasi alam, yang saking indahnya membuat manusia melihatnya sebagai keajaiban? Ataukah hasil ‘sentuhan’ manusia dari mahakarya sebuah peradaban?

Tanpa bermaksud menafikan kebesaran alam dan pencipta-Nya, lebih menarik apabila kita melihat keajaiban dunia sebagai hasil peradaban. Terutama lagi setelah organisasi bernama The New Open World Corporation menyatakan tujuh keajaiban dunia baru (The New Seven Wonders of the World), yang mencakup Chichen Itza di Meksiko, Patung Kristus Penebus di Brazil, Tembok Besar Cina, Machu Pichu di Peru, reruntuhan kota Petra di Yordania, Colloseum di Italia, Taj Mahal di India, dan Piramida Giza di Mesir. Menarik, karena ternyata tujuh keajaiban dunia baru yang dicetuskan 7 Juli 2007 ini menuai banyak kontroversi.

Adalah UNESCO yang menjadikan The New Seven Wonders of the World menjadi sebuah kontroversi. Sebagai sebuah lembaga resmi PBB yang juga bertanggung jawab akan pelestarian Benda Cagar Budaya Dunia (world heritage), UNESCO menolak dikaitkan dengan kampanye tujuh keajaiban dunia baru tersebut. Sebuah sikap yang kami anggap tepat, karena sebagai sebuah lembaga yang bertanggung jawab terhadap world heritage, UNESCO tidak dapat memprioritaskan tugasnya hanya kepada tujuh wonders baru, serta melupakan world heritage lain. Tentu saja termasuk yang ada di Indonesia, seperti Borobudur, Prambanan, dan Sangiran.

Kontroversi lain adalah kriteria new wonders yang tidak jelas. Akan terasa aneh untuk membandingkan Patung Kristus Penebus di Brazil, yang baru berusia 78 tahun dan dibuat dengan teknologi modern, dengan Tembok Besar Cina, yang didirikan antara 220 – 200 SM dan menjadi bangunan terpanjang dalam sejarah manusia walau dengan teknologi yang sederhana. Baik itu batas waktu atau teknologi yang digunakan sebagai kriteria, masih rancu untuk menyebut sesuatu sebagai wonder.

Mari kita kembali lebih jauh ke belakang, menengok sejarah awal munculnya tujuh keajaiban dunia. Mengapa harus tujuh? Sebab sang pencetus awal, Antipater Sidon, membuat tujuh daftar dalam sebuah puisi sekitar abad 140 SM. "Aku telah melihat tembok Babilonia yang agung yang di atasnya terbentang jalanan untuk kereta-kereta perang, dan patung Zeus di Alfeus, dan taman-taman gantung, dan Kolosus Matahari, dan karya besar yang membangun piramida-piramida tinggi, serta kuburan yang besar dari Mausolus; namun ketika aku melihat rumah Artemis yang menjulang ke awan-awan, yang lain itu semuanya kehilangan keindahannya, dan aku berkata, 'Tengoklah, selain Olympus, Matahari tidak pernah lagi melihat apapun yang sedemikian agung.” (Antipater, Greek Anthology IX.58).

Jadi dari sanalah tujuh keajaiban dunia berasal. Semata-mata berasal dari pendapat pribadi seorang Sidon, yang kemudian dikembangkan lebih jauh. Sekarang masyarakat mengenal banyak jenis tujuh keajaiban dunia. Pertama sebagaimana tertera dalam daftar Antipater Sidon. Satu-satunya keajaiban dunia kuno yang masih ada hingga sekarang adalah Piramid Giza. Colossus of Rhodes adalah keajaiban dunia kuno yang berumur paling pendek, hanya bertahan selama 56 tahun sebelum hancur oleh gempa bumi, sementara keberadaan Taman Gantung Babilonia, masih diperdebatkan keberadaannya.

Setelah peradaban kuno runtuh, ingatan akan keajaiban dunia kuno yang hancur perlahan menghilang. Kelompok cendekiawan meninjau ulang dan menulis kembali daftar keajaiban dunia yang dikenal sebagai tujuh keajaiban dunia pertengahan yaitu Katakombe Kom el Shoqafa, Colosseum, Tembok besar China, Hagia Sophia, Menara miring Pisa, Menara porselen Nanjing (Nanjing, Tiongkok), dan Stonehenge (Skotlandia, Britania Raya). Setelah keajaiban pertengahan, banyak orang sudah menyusun daftar Keajaiban Dunia Modern, antara lain Terowongan Channel (Britania Raya dan Perancis), Menara CN (Toronto, Kanada), Empire State Building (New York, Amerika Serikat), Jembatan Golden Gate (San Francisco, AS), Dam Itaipu (Brazil dan Paraguay), Delta Works (Belanda), dan Terusan Panama (Panama).

Tentu saja Indonesia juga memiliki wonders, misalnya Borobudur sebagai salah satu mahakarya arsitektur pada masanya. Namun sayangnya, orang sering menyebut Borobudur sebagai forgotten wonders. Keajaiban yang terlupakan, seperti halnya Angkor Wat di Kamboja.

Akan sangat bijak apabila kita tidak membatasi wonders of the world menjadi hanya tujuh. Karena ketika kita bicara wonders, tentu saja kita juga bicara kemajuan peradaban, hingga melahirkan mahakarya, baik kemegahan arsitektural ataupun keindahan estetis. Setiap peradaban, juga setiap zaman, tentu akan menghasilkan wonders-nya masing-masing. Dengan membatasinya dalam sejumlah angka prioritas hanya akan melupakan yang lain, dan ini menjadi ancaman bagi pelestariannya. (komunitas paduraksa, Juli 2007; dari berbagai sumber)