Saturday, November 22, 2008

Jejak Crusoe di Tanah Sunda

Cast away..going at it alone..
Cast away..now im on my own..
Trouble bound lost and found cast away….(Green Day)

Sebagai sebuah tema dalam karya sastra, ‘cast away’ telah dipopulerkan oleh seorang penulis Inggris; Daniel Defoe (1660-1731) melalui karyanya yang fenomenal: Robinson Crusoe. Tapi tahukah Anda, saking terkenalnya novel ini sehingga data sejarah literature masa Kolonial di Indonesia sempat mengabadikan kisahnya dalam bahasa Sunda dan dibaca oleh kalangan elit pada masa itu?

Secara ringkas buku tersebut menceritakan tentang kecerdasan strategi dan pertahanan Crusoe untuk hidup dalam pulau tersebut selama 26 tahun. Dalam cerita tersebut juga dimunculkan seorang tokoh yang disebut sebagai “Friday”--yang selanjutnya menjadi frase “man Friday” yang berarti ‘trusted servant’ atau ‘pelayan setia’. Setelah 28 tahun keduanya kemudian berhasil ke luar dari pulau tersebut dan berlayar menuju Inggris.

Penjelajah Daisuke Tkahashi lebih dari satu dasawarsa meyakini bahwa Alexander Selkirk, seorang kelasi Skotlandia, yang mungkin mengilhami Robinson Crusoe. Selkirk terdampar dan bertahan hidup di sebuah pulau, jauh dari pantai Cile pada 1704. Tepatnya di dekat teluk Cumberland. Selkirk kemudian diperkirakan membangun dua pondok kayu ditutupi lalang dan dilapisi kulit kambing (Kompas, 25 September 2005).

Lalu bagaimana Robinson Crusoe bisa tercetak dalam bahasa Sunda?

Adalah Kartawinata (1846-1906), seorang anak dari (hoofd) panghulu Moehamad Moesa (pengarang Panjiwoeloeng, 1871), yang terlibat dalam berbagai penerjemahan pada masa itu. Bersama saudara dan anak-anak Sunda lain, dia belajar bahasa Belanda di Garut. Adiknya, Lasminingrat juga seorang penulis yang hidup sezaman dengan Kartini dan juga turut berkontribusi dalam pendidikan gadis-gadis Sunda pada masa itu (Moriyama: 2005).

Kartawinata bersama K. F. Holle menerjemahkan berbagai novel eropa (Kapten Bonteku, Robinson Crusoe, Kapitein Marion, dll), buku pertanian, buku pelajaran, kamus-bersama P. Blusse, serta publikasi-publikasi pemerintah. Dia kemujdian ditunjuk sebagai asisten penerjemah untuk bahasa Sunda pada Februari 1874 dan kemudian diangkat menjadi pegawai penerjemah resmi. Karena jasanya yang berharga bagi Kolonial, pemerintah Batavia kemudian menghadiahinya dengan medali perak.

Sebelumnya, diketahui bahwa bahasa Sunda diakui secara formal keberadaannya oleh pemerintah Kolonial pada abad ke-19 dan disadari pentingnya oleh para penguasa Bumi putera (Bupati dan jajaran di bawahnya) yang kemudian penggunaannya diperluas bukan hanya sebagai alat komunikasi social secara lisan seperti pada aad sebelumnya (17 dan 18) melainkan juga sebagai objek penelitian ilmu bahasa, bahasa pengantar, dan mata pelajaran di sekolah, dan media karya tulis.

Lalu apa yang menarik dari karya terjemahan Kartawinata?

Menurut Moriyama, bukan hanya uraian rinci mengenai kebiasaan dan pemikiran Barat yang membuat terjemahan Kartawinata terkesan modern. Yang juga membangkitkan minat dan mengejutkan para pembaca Bumiputra adalah adanya objek-objek dan orang-orang asing yang ada pada buku-buku itu yang dilukis dengan sangat hidup dan realistis dalam gambar sketsa, kontras dengan naskah-naskah Bali dan Jawa dan Sunda yang menurut Ekadjati (1996:101-128) hanya sedikit mengandung ilustrasi dan gambar.

Kombinasi antara tulisan dan gambar tentunya dirasakan sebagai sesuatu yang sangat baru oleh para pembaca Sunda; sekarang mereka dapat membaca cerita sambil mengembangkan imajinasi mereka tentang peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Boleh dibilang, para pembaca dipaksa untuk membaca dan melihat, suatu cara baru untuk memahami dunia ini yang merupakan kunci penting menuju modernisasi (Moriyama, 2005: 249-250).

MODERNISASI. Itulah benang merah yang hendak dirajut dalam rangkaian kata demi kata, dalam transliterasi maupun transkripsi oleh para pendahulu kita- yang pada akhirnya membawa pada sebuah babak baru: pembentukan Commissie voor de Inlandsch School-en Volkslectuur (Komisi untuk buku-buku sekolah Bumiputera dan buku-buku bacaan populer) pada 1908-sebuah angka tahun yang berharga bagi tonggak sejarah kebangkitan Nasional! (Rusyanti)

Berapa Kali Borobudur Dibangun?


Siapa yang tidak mengenal Borobudur? Memang tidak mengenal Borobudur bukan sebuah kejahatan. Namun cukup untuk membuat seseorang dianggap sebagai manusia tak berwawasan luas. Sebab candi megah ini sangat terkenal, tak hanya di Indonesia namun juga di dunia.

Walau demikian terkenal, tak banyak yang tahu kalau Borobudur dibangun dalam beberapa periode. Menurut Jacques Dumarcay, seorang arsitek asal Prancis, candi itu dibangun sebanyak lima kali dalam periode yang berbeda.

Pada perode pembangunan yang pertama, pondasi awal Borobudur terbentuk dari dinding kecil yang terdiri dari deretan batu yang merupakan garis batas. Dinding pondasi dilapisi puing-puing batu sisa. Batu yang digunakan di seluruh bagian candi adalah batu andesit. Setelah dinding pondasi sudah diselesaikan, maka yang selanjutnya dilakukan adalah mengerjakan bagian kaki. Bagian ini merupakan bagian yang terpisah dari pondasi. Kedua garis pondasi memiliki perbedaan satu sama lain. Proyeksinya adalah 16 cm di sebelah timur laut dan 8 cm di sebelah barat daya.

Sisi-sisi candi dibuat menghadap ke arah timur. Penopang candi diletakkan di bagian atas tingkat pertama lapisan puing-puing batu. Sementara kaki-kaki tiang pancang ditanamkan ke dalamnya. Ketika jalan mulai dibuka, penopang tetap diletakkan dalam bangunan sampai pembangunan mencapai galeri pertama. Setelah itu, penopang diambil dan bekas tempatnya diisi oleh balok-balok batu. Setelah meletakkan deretan batu pertama pada tembok untuk galeri kedua, bagian barat dikurangi karena penyusunan batunya tidak rapi.

media-2.web.britannica.com

Pada galeri ketiga dibangun struktur. Mungkin proporsi dan kerangka tembok hias dan relief telah dibangun seluruhnya sebelum kemudian dirusak. Keberadaan struktur ini diketahui dari dua fakta. Berdasarkan hasil riset geologi, ada wilayah yang sempit dan tersusun rapat di galeri ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa bagian tersebut pernah digunakan. Fakta kedua, adalah dibawah tangga utara yang menuju kaki bangunan dan berasal dari periode pembangunan yang kedua, sejumlah besar elemen pahatan, termasuk tembok hias dan puncak tertinggi, telah ditemukan.

Pada akhir periode pembangunan awal, bangunan sudah lengkap. Termasuk bagian kaki candi yang sekarang tersembunyi, dua galeri pertama, dan sebuah struktur utama. Lalu pengerjaan bangunan ditinggal selama lebih kurang 25 tahun.

Pada periode pembangunan kedua lapisan puing-puing batu terlepas. Sementara parit besar yang muncul di sisi bukit menyebabkan struktur bagian utara rusak. Periode pembangunan kedua adalah pembaharuan lengkap bangunan, untuk menjaganya tetap sebagai satu kesatuan. Akan tetapi rencana baru yang dibuat untuk galeri tiga dan empat menunjukkan perbedaan dari periode pertama. Tangga yang sudah direkonstruksi pada periode pertama, sekarang menjadi kurang tinggi. Karena itu perlu sekali untuk membuat kembali desain baru, dan membangun kembali lengkungan di pintu masuk.

Untuk memberi kesan kesatuan bagi bangunan, tiang pintu masuk yang baru, diletakkan di dekat relief lama yang sama dengan galeri tiga dan empat. Bagian atas bangunan mulai dikerjakan lagi. Sisi-sisi bukit tempat candi mendompleng, mulai berubah. Termasuk lima tingkat dari tanah yang dimampatkan dan melapisi puing-puing. Struktur bundar dibangun di bagian atas mimbar, lalu pekerjaan sekali lagi dihentikan.

Sebelum pembangunan periode ketiga dimulai, semuanya diratakan. Pada periode ini dibangun tiga beranda bundar yang menembus stupa-stupa dan stupa sentral. Pagar langkan galeri pertama dimodifikasi dengan cara membangun relung dibagian atasnya untuk menambah sejumlah arca Buddha. Bagian kaki diperluas, dan disisipkan saluran-saluran air hujan.

Pada dua periode terakhir, yaitu periode keempat dan kelima, hanya terjadi perkembangan kecil. Ruang antara relung terbuka di pagar langkan galeri pertama ditutup. Selain itu, pada bagian dalam galeri pertama dipahatkan relief yang baru. Relief-relief ini dihubungkan dengan jalan menuju pintu masuk dan akses baru menuju tangga.

Pada periode ini, tanah yang padat mengakibatkan sisi bukit terkikis dan puing-puing menimpa ke sisi barat. Tanah disekitar bangunan menutupi seluruh tingkat pertama bagian kaki. Tangga di sisi bukit menghilang, galeri-galeri akan terisi tanah dan tanaman liar. Lalu pembangunan terhenti, hingga muncullah candi megah sebagaimana yang kita kenal sekarang. (nisa)

Masjid Azizi: Berlian di Tanjungpura

Kubah

Jatuh cinta itu sudah dirasakan sejak pandangan pertama. Begitulah yang penulis rasakan ketika pertama kali melihat mesjid ini beberapa tahun lalu. Sayang kesempatan untuk mengunjunginya lagi baru terlaksanakan September lalu.

Namanya Masjid Azizi, terletak di Tanjungpura, sebuah kota kecamatan kecil yang belum melupakan kemelayuannya. Masih banyak rumah tradisional berbahan kayu dengan tangga yang berdiri dengan eloknya di kota ini. Walau tentu saja modernitas adalah sesuatu yang tak dapat di tolak. Rumah-rumah berarsitektur Melayu ini pun mesti bersaing dengan rumah modern yang angkuh.

Syahdan, Azizi dan Tanjungpura merupakan milik Kesultanan Langkat. Mesjid dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) dan diresmikan pada 12 Rabiulawal 1320 Hijriah atau tepatnya 13 Juni 1902. Kini nama kerajaan pendirinya diabadikan dalam nama sebuah kabupaten, Kabupaten Langkat.

Tak banyak memang yang tahu kerajaan ini. Pamornya kalah oleh Kerajaan Deli dengan Istana Maimoon-nya yang memang berlokasi di Kota Medan. Padahal Kesultanan Langkat cukup makmur dengan perkebunan karet dan cadangan minyak di Pangkalan Brandan. Kesultanan ini runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga kesultanan Langkat yang terbunuh. Namun kejayaan mereka tak hilang ditelan waktu. Mesjid Azizi masih menyimpan kenangan akan kerajaan ini.

Kenangan tersebut terlihat pada pemakaman istimewa yang berada dalam bangunan berpagar dan terbuat dari bahan seperti marmer putih. Itulah makam keluarga kesultanan. Di sampingnya terdapat pemakaman dengan nisan bermacam ragam dan berjumlah ratusan. Diantaranya tampak kuburan Amir Hamzah, penyair Indonesia dari angkatan Pujangga Baru, dengan salah satu karya terkenalnya: Nyanyi Sunyi.

Arsitektur Mesjid Azizi merupakan perpaduan corak Timur Tengah dan India. Ada lebih dari sembilan kubah kecil yang terdapat bagian atap. Ciri khas Timur Tengah dan India tersebut dikombinasikan dengan corak Melayu, Persia dan China.

Keanekaragaman itu tercermin dari ornamen-ornamen mozaik dan pualam bernuansa Timur Tengah. Sementara pengaruh Cina bisa dilihat dari menara yang menjulang di pelataran mesjid. Hal serupa juga ditemukan pada bagian pintu dengan ukir-ukiran khas Cina mirip yang terdapat di kelenteng. Bangunan utama Masjid Azizi merupakan perpaduan arsitektur bercorak Timur Tengah dan India yang megah dengan banyaknya kubah. Ada lebih dari sembilan kubah kecil yang terdapat pada atapnya.


Azizi adalah mesjid yang kaya. Bukan karena biaya pembangunannya mencapai angka 200.000 ringgit. Kekayaannya tampak dari arsitektur dengan banyak ciri dan tradisi. Kekayaan ciri itulah yang menjadikan Azizi indah dipandang. Mesjid ini bahkan lebih indah dari istana sang sultan sendiri. Tak salah jika Azizi dianggap Berlian dari Tanjungpura. (nisya)