Monday, March 22, 2010

Bagaimana Cara Membuat Candi?

Manusia masa kini hanya tahu wujud candi setelah jadi, itupun kebanyakan dalam keadaan tak lagi sempurna. Sebagian orang hanya mengagumi keindahan, kemegahannya, atau—mungkin—kekunoannya, hingga tak sempat terbersit untuk memikirkan bagaimana candi-candi itu dibuat.

Padahal, candi juga mengalami proses pembangunan, sama seperti bangunan zaman sekarang. Hanya saja, pada masa itu belum ada semen dan alat-alat bangunan modern lainnya. Lalu bagaimana para nenek moyang membangun bangunan suci ini?

Membuat candi, sudah tentu, tak semudah membuat gedung mutakhir. Ada banyak hal-hal penting dan sakral yang harus dilakukan sebelumnya.

Pertama, Yajamana (orang yang berniat membangun candi) harus menghubungi Maha Brahmana dengan para pekerjanya yang disebut Silpin. Mereka akan mencari tempat yang kira-kira pas untuk candi. Biasanya tempat yang paling digemari adalah lahan di dekat air.

Lebih bagus lagi jika lokasinya di dekat pertemuan dua sungai (tempuran). Ada juga beberapa lahan terlarang untuk lokasi candi yang harus dihindari. Misalnya tanah bekas pembakaran mayat, tanah berpasir, tanah berbatu, dan tanah rawa.

Setelah ditemukan, maka mulailah tahap pemeriksaan tanah. Tahap pertama adalah Bhupariksa. Bhupariksa bisa dilakukan lewat dua cara, cara magis atau cara biasa. Jika lewat cara biasa, maka yang pertama diperiksa adalah kepadatan tanahnya. Caranya bermacam-macam. Cara yang pertama, tanah digali lalu diisi air dan dibiarkan selama 24 jam.

Esok harinya tanah itu diperiksa. Jika air terserap habis atau hanya tersisa sedikit artinya tanahnya tidak bagus karena terlalu gembur. Jika air berkurangnya cuma sedikit, artinya juga sama. Tanah yang paling baik jika air hanya tersisa setengah. Selain lewat cara ini, cara lain untuk memeriksa kepadatan tanah adalah dengan menggali lalu diurug lagi. Lahan tak akan dianggap baik jika setelah diurug tanahnya terlalu sedikit atau berlebihan, jadi harus sama rata.

Lalu masuklah tahap kedua. Di tahap ini yang diuji adalah kandungan gas tanah. Caranya? Pada malam hari diletakkan clupak (pelita dari tanah liat) di atas tanah yang dimaksud. Jika setelah dinyalakan apinya langsung padam, artinya tanah banyak mengandung gas beracun. Jika api menyala tapi mengarah ke selatan, tanah tak dianggap baik karena selatan adalah arah dewa kematian (dewa Yama). Yang paling baik jika api menyala tegak lurus.

Tahap ketiga menguji kesuburan tanah. Tanah diairi, dicangkul, dibajak, lalu ditaburi benih. Jika benih berhasil tumbuh dalam waktu 1-2 hari maka tanah ini adalah tanah brahmana (kualitas nomor wahid). Jika benih berhasil tumbuh dalam waktu 3-4 hari disebut tanah ksatria (masih lumayan walau tak sebaik jenis brahmana). Jika tumbuh dalam waktu 5-6 hari di sebut tanah waisya. Kalau menemukan tanah jenis ini, terserah masih mau digunakan atau dibuang. Dan terakhir, jika tumbuhnya lebih dari 7 hari maka disebut tanah sudra. Tanah sudra tidak disarankan untuk digunakan dalam pembangunan bangunan suci.

Tes dilanjutkan dengan menguji warna dan bau tanah. Tanah Brahmana biasanya berwarna seperti mutiara dan berbau harum sementara tanah ksatria berwarna merah dan berbau darah. Tanah waisya berwarna kuning keemasan, dan tanah sudra berwarna gelap atau kelabu.
Akhirnya Bhupariksa selesai.

Saatnya membangun candi! Lahan yang dipilih dibatasi dengan benang putih berbentuk persegi dengan garis diagonal yang juga ditandai dengan benang. Maka didapatlah titik tengah yang disebut Brahmasthana. Artinya ‘tempat bersemayamnya Dewa Brahma.’ Nah, setelah itu dibuatlah kotak-kotak atau grid. Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri dari satu nama dewa.

Titik tengah tempat bersemayamnya Dewa Brahma tadi digali 1×1 meter lalu didasarnya diletakkan peripih (Garbhapatra). Peripih tersebut berisi benda-benda perlambang panca maha bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air, api, dan angin. Simbol-simbol yang digunakan bisa berupa biji, benang, kertas emas (biasanya bertuliskan mantra atau nama dewa), cermin perunggu, dan tulang hewan

Untuk unsur api biasanya diwakilkan oleh abu. Karena itulah ahli-ahli Belanda zaman dulu mengidentikkan candi dengan makam. Kelak pendapat ini ditentang R. Soekmono, tapi sayangnya sampai sekarang beberapa tulisan mengenai candi masih menggunakan pendapat lama orang-orang bule ini.

Kembali lagi ke Brahmasthana. Diatas titik tengah inilah biasanya dibangun candi induk. Namun ada banyak candi di Indonesia yang tidak menerapkan aturan ini, misalnya Candi Prambanan yang titik tengahnya berada di dekat tangga.

Lalu bagaimana proses pembangunan candi itu sendiri? Kurang lebih sama dengan pembangunan gedung modern. Bahan-bahan dikumpulkan, batu-batunya (atau bata) disusun, lalu dibuat berbagai macam hiasan yang membuat candi jadi kelihatan lebih oke.

Tapi ada teknik penyusunan batu maupun bata yang khas dari candi. Untuk candi berbahan bata tekniknya lebih sederhana. Bata digosokkan satu sama lain sampai tercipta bubuk yang dapat berperan seperti semen lalu diperciki dengan air.

Dijamin kuat, bahkan mungkin jauh lebih kuat dari semen modern. Buktinya setelah ratusan tahunpun bangunan-bangunan ini masih bertahan. Tapi candi yang menggunakan batu lebih rumit karena batu-batu tersebut disambung-sambung satu sama lain. Ada banyak teknik sambungan batu yang kita kenal, salah satunya teknik sambungan batu langsung.

Caranya? Di salah satu permukaan sebuah batu dibuat sebuah tonjolan, dan di batu lain di buat semacam ‘lembah’ yang cocok dengan batu satunya lagi. Jadi mirip seperti puzzle yang dicocok-cocokkan satu sama lain. Ada juga sambungan batu pengunci. Dengan teknik ini, batu-batu dikaitkan lewat bantuan batu pengunci di tengah-tengah kedua batu itu.

Rumit memang. Makanya harus pikir-pikir lagi jika ingin mencorat-coret candi dengan berbagai macam aksi vandalisme dan perusakan. Semenit bagi kita untuk merusak, namun butuh seratus tahun bagi para nenek moyang untuk membangun. Ironis! (Khairun Nisa/berbagai sumber. Sumber gambar: borobudur.tv)