Sunday, March 30, 2008

Arkeolog dalam Fiksi

Dunia arkeologi yang dalam kehidupan nyata sering dianggap memiliki madesu (alias Masa Depan Suram) ternyata bisa disulap menjadi seksi dan mendebarkan di tangan para penulis. Sebutlah beberapa judul yang mengangkat tema penelitian masa lalu ini seperti: Indiana Jones, National Treasure, sampai Jurassic Park, mereka laris ditonton oleh jutaan umat manusia di seluruh dunia. Thanks to Holywood, masyarakat bisa memiliki pandangan baru terhadap profesi suram ini. Jadi, bagaimana kalau kita sedikit berkenalan dengan sebagian dari arkeolog fiktif tersebut?

Indiana Jones

Indiana Jones merupakan tokoh fiksi yang paling “bertanggung jawab” atas persepsi masyarakat modern tentang arkeologi: Perburuan harta karun. Harap maklum, mengingat film garapan Spielberg yang diproduseri Goerge Lucas ini begitu sukses mendulang penonton (dan dollar) dalam periode 80-an. Walau begitu, Dr. Jones tetap berburu harta karun dalam bingkai ilmu pengetahuan. Tentu saja, mengingat statusnya sebagai seorang profesor di bidang arkeologi.

Bernama lengkap Dr. Henry Walden Jones Jr., tetapi lebih memilih untuk dipanggil Indiana yang merupakan nama anjing peliharaannya sejak kecil, daripada panggilan yang diberikan sang ayah: Junior. Telah melakukan berbagai petualangan sejak kecil selagi mengikuti tugas dinas sang ayah yang juga seorang arkeolog.

Nurani seorang arkeolognya sudah muncul sejak masa sekolah. Dalam The Last Crusade, diceritakan bagaimana pandu muda ini berusaha menyelamatkan Salib Coronado dari tangan pemburu harta karun, untuk ditempatkan di museum. Dengan tali cambuk dan topinya yang khas, Indi merupakan ikon seorang petualang sejati. Namun ia tetap digambarkan punya kelemahan: fobia terhadap ular.

Indiana Jones pertama kali muncul dalam trilogi petualangannya yang terkenal: Raiders of The Lost Ark, Indiana Jones and the Temple of the Doom, dan Indiana Jones and The Last Crusade. Dalam ketiga film tersebut, peran Indi begitu lekat dengan nama Harisson Ford. Menyusul kesuksesan film, muncul pula serial televisinya, The Young Indiana Jones Chronicles pada tahun 1992 hingga 1996. Adapun peran tersebut dimainkan tiga orang berbeda: Sean Patrick Flanery (Indi usia 17 tahun), George Hall (93 tahun), dan Corey Carrier (10 tahun).

Lara Croft

Terlahir dari keluarga bangsawan, putri dari Lord Henshingly Croft, Lara merupakan seorang antiquarian yang selalu terlibat berbagai petualangan seru. Apalagi kalau bukan berburu harta karun. Walau demikian, hal itu tidak menjadikan Lara menjadi karakter yang liar. Ia tetap memiliki karakter yang kuat sebagai seorang bangsawan.

Perkenalan Lara terhadap alam bebas dan berbagai petualangan dimulai sejak masa sekolahnya di Gordonstoun. Di sanalah ia menemukan cintanya pada alam bebas, pada pegunungan di Skotlandia. Kemudian berlanjut saat ia melanjutkan kuliah di Swiss, terutama saat ia mulai kenal dengan berbagai extreme sports. Dan, persahabatannya dengan alam jua yang membuat ia bertahan ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh di Himalaya.

Di rumah besarnya di Surrey, Inggris, Lara merasa terkungkung dalam lingkungan aristokrasi. Hanya petualangan yang membuat Lara merasa ‘hidup’. Saat itu juga dia sadar bahwa rumahnya cukup luas untuk menampung berbagai artefak. Itulah yang membuat Lara memulai petualangannya sebagai seorang Tomb Raider.

Tomb Raider merupakan video game laris yang membesarkan nama Lara Croft. Jagoan hasil rekaan Toby Gard ini menjadi ratu dunia game sejak debutnya pada 1996. Kini hasil rekaan itu telah muncul dalam film, dan telah melekat dengan nama Angelina Jolie.

Taichi Hiraga-Keaton

Taichi Hiraga-Keaton merupakan seorang arkeolog yang lahir dari ayah seorang ahli zoology dari Jepang dan ibu seorang bangsawan Inggris. Sejak perceraian orangtuanya, Keaton mengikuti sang ibu dan menjadi warga negara Inggris. Beranjak dewasa, Keaton melanjutkan kuliahnya di jurusan Arkeologi, Oxford University.

Lulus dari Oxford, Keaton kemudian memulai karir militernya di SAS, sebuah pasukan khusus Inggris. Berbekal kemampuan militernya di SAS, juga kemampuan analisis dan pengetahuannya sebagai seorang arkeolog, Keaton kemudian bekerja sebagai penyelidik asuransi di Lloyd’s of London. Namun ia juga masih menjadi pengajar arkeologi di berbagai universitas. Sebagai seorang arkeolog, ia punya impian: ekskavasi di tepi sungai Danube dan membuktikan teori kalau kebudayaan Eropa berawal dari tepi sungai Danube.

Master Keaton merupakan manga (komik Jepang) hasil rekaan Hokusei Katsushika dengan ilustrasi Naoki Urasawa yang berkisah tentang petualang Keaton sebagai penyelidik asuransi. Dibuat pada 1988 hingga 1994, Master Keaton menuai sukses dan menginspirasi anak-anak Jepang untuk mendalami Arkeologi. Kesuksesan itu membuat Keaton juga muncul dalam format DVD dalam bahasa Inggris untuk pasar Amerika Serikat.

Adapun yang membuat Keaton berbeda dengan Lara atau Indi adalah sosoknya yang lebih humanis. Keaton digambarkan sebagai manusia biasa, yang bercerai dengan istrinya dan terpaksa meninggalkan putrinya di Jepang demi pekerjaan yang memaksa ia berkeliling dunia. Walau cerita tidak sedahsyat Tomb Raider, Master Keaton merupakan kisah yang kaya dengan pengetahuan budaya.

Dengan latar dan kepribadian yang berbeda, para arkeolog fiktif di atas berhasil mengubah pandangan orang mengenai profesi yang mereka wakili. Walau perlu juga diingat apa yang ada di dunia nyata mungkin tak semendebarkan yang terangkai dalam fiksi. Namun bagi para penggilanya, pekerjaan yang paling membosankan sekalipun bisa jadi jauh lebih memicu adrenalin ketimbang bungee jumping di ketinggian Niagara. Akankah Indonesia memiliki detektif masa lalunya sendiri? Kita lihat saja... (Tim redaksi Tinulad)

Archaeology: The Unfinished “Work”

Apa yang ada di kepala kita ketika mendengar kata “arkeologi"? Jawabannya berbeda-beda. Arkeologi adalah: fosil, dinosaurus, penggalian, Indiana Jones, peneliti, dan ilmuwan. Kutipan dibawah ini mungkin cukup mewakili paradigma yang sering kali direpresentasikan oleh masyarakat populer dewasa ini.

“Archaeology is partly the discovery of the treasures of the past, partly the meticulous work of the Scientific analyst, partly the exercise of the creative imagination..”
(Bahn, 1996:11)

Dengan kemajuan teknologi yang pesat dewasa ini, pernyataan diatas dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk visual yang mengagumkan oleh tangan-tangan creationist. Yup! Lihatlah perburuan harta karun yang menegangkan di situs Angkor Wat oleh jagoan perempuan bernama Lara Croft dengan latar belakang dunia arkeologi. Penelitian untuk memecahkan serangkaian teka-teki rumit dalam bentuk novel detektif karya Agatha Christie yang terinspirasi oleh suaminya yang juga arkeolog. Simak juga film fiksi karya Steven Spielberg yang fenomenal, sebuah karya imajinasi kreatif di luar batas nalar: Jurassic Park. Inilah bungkusan arkeologi dalam dunia konsumsi di era nanoteknologi. Disadari atau tidak, karya-karya ini cukup mempopulerkan dunia arkeologi kepada masyarakat umum, terutama bagi para pelajar yang ingin meneruskan studinya ke tingkat yang lebih tinggi.

Di Indonesia sendiri "arkeologi" bukanlah hal yang populer. Gaungnya tidak selaris "ekonomi". Secara institusional hanya ada 4 universitas yang menggodok calon-calon arkeolog. Keempat universitas ini adalah UI, UGM, UDAYANA, dan UNHAS. Di UI sendiri animonya masih cukup bagus. Rata-rata daya tampung untuk tiap tahunnya sekitar 20-40 kursi. Menurut Irmawati Johan, Sekjur Arkeologi-UI, motif para mahasiswa baru terhadap arkeologi bervariasi dari mulai kesadaran penuh menggapai cita-cita, terinspirasi berbagai film dan buku, hingga yang merasa terjebak dan pada akhirnya tertawan akan nama besar UI. Namun ada pula mahasiswa yang benar-benar menemukan dirinya setelah ia mengenal ilmu ini secara lebih mendalam.

Calon-calon arkeolog muda ini tentunya akan menghadapi berbagai tantangan yang besar ketika mereka pada akhirnya harus berhadapan dengan realita yang ada di luar. Jangan terlalu berharap akan menemukan petualangan spektakuler seperti yang digambarkan dalam layar lebar atau sedramatis novel, karena yang terlihat dibalik layar belum tentu sama dengan kenyataannya.

Tergusurnya situs-situs arkeologi baik yang sekarang terjadi dan dimasa yang akan datang merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi dan penguasaan kapital. oleh karena itu perjuangan kita seringkali akan berbenturan dengan penguasa dan kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, jumlah situs-situs yang pastinya meningkat tiap 50 tahunnya, memerlukan penanganan yang menyeluruh dan menuntut peningkatan kompetensi tiap individunya dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin cepat.

Untuk menghadapi tantangan ini dalam metode pengajarannya, jurusan arkeologi UI menerapkan sistem PBL (Problem Based Learning) yang berorientasi pada mahasiswa sebagai objek (Student Centered). Sistem ini menuntut mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif dan kritis. Sedangkan dosen sendiri lebih bersifat fasilitator. Pada penerapannya, memang masih banyak ditemukan adanya kekurangan terutama pada masalah fasilitas yang menunjang perkuliahan. Walau begitu pengajar menginginkan agar mahasiswanya mampu bersaing dengan dunia luar untuk memajukan arkeologi di Indonesia. Keterbatasan hendaknya tidak dijadikan hambatan untuk terus maju. Tidak ada cara lain bagi kita selain giat belajar dan berusaha meraih segala peluang yang ada dengan penuh tanggung jawab.

Sebagai ilmu yang tidak terlalu populer di Indonesia, bidang karir untuk dunia inipun tidak banyak, ditambah lagi dengan jumlah angkatan pencari kerja yang berjumlah 40 juta lebih, menjadikan persaingan semakin sulit. Banyak ahli-ahli budaya yang berkarir di bidang lain dan sebaliknya. Peluang sebenarnya tetap ada. Banyak Balai-balai arkeologi, Suaka purbakala maupun museum-museum yang tersebar di seluruh Indonesia. Yang diperlukan sekarang adalah keberanian untuk out of Java dan pembenahan manajemen sumber daya budaya kearah yang lebih baik. The right man in the right place nampaknya sulit di terapkan di Indonesia.

Tapi di balik segala masalah yang pelik ini, gemerlapnya layar hiburan yang membius para treasures seeker, menumpuknya angkatan pencari kerja, angkuhnya tembok-tembok penguasa dan budak kapital penjual aset-aset bangsa.... Lebih dari sekedar produk konsumsi, Arkeologi mengusung nilai yang lebih penting lagi yaitu sebuah proyek idealis yang menuntut tanggung jawab bersama demi kemanusiaan dan identitas bangsa yang mau tidak mau harus diteruskan kepada generasi penerus dan pelurus bangsa yang tidak hanya “mentok” pada batasan-batasan karir semata. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Calne:

“Keselamatan kita, sebagai hewan sosial, tergantung pada kemampuan kita berbicara dan mengerti, dan keampuhan kebudayaan moderen berasal dari terciptanya tulisan barang lima ribu tahun yang lalu. Semua peradaban besar di dunia ini sekarang dibangun diatas dasar manfaat tulisan dan bacaan. Dan jauh sebelum itu... apa yang kita tahu mengenai sejarah pratulis adalah berkat arkeologi...”
(Calne, 2005: 38&84)

Untuk menjawab tantangan ini, dewasa ini banyak sekali komunitas-komunitas pencinta budaya di Indonesia dengan berbagai visi dan misi. Selain sebagai sarana berkreasi, dan mengintelektualisasikan diri,...komunitas ini mampu memperlihatkan eksistensinya ditengah arus globalisasi ekonomi yang semakin gencar. Lihatlah kreatifitas kelompok yang terkenal dengan Dagadu atau Joger-nya. Dengan tetap mengusung tema pelestarian budaya, kelompok-kelompok ini mampu menghasilkan keuntungan dan nama besar, sekaligus membuka peluang kerja.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Negeri ini menyimpan banyak potensi baik propinsi, suku-bangsa, bahasa, adat-istiadat, macam kuliner, dan lain-lain yang tersebar di 276.000 pulau dengan kandungan potensi arkeologi yang belum tergali. Itu merupakan aset yang sangat berharga. Siapa lagi yang akan memberdayakannya selain kita sebagai generasi penerus bangsa?

Jadi sebenarnya, Archaeology is a dynamically expanding subject. Calne mengingatkan kita bahwa, lebih dari romantisme akan kenangan masa lalu, arkeologi merupakan dasar dari terbentuknya peradaban moderen sekarang ini. Arkeologi memberi kita “harta karun” agar belajar dari sejarah untuk masa depan yang lebih baik.

Peluang karir yang sesuai mungkin terbatas di dunia nyata, tapi tidak dalam imajinasi

Lihatlah biografi JFK, Sukarno, Bill Gates, Sayyid Quthb. Mereka semua adalah pengkhayal. Imajinasi merupakan tulang punggung penyangga kreativitas dan sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan (Annis Matta) kita. Kecintaan kita pada Arkeologi dapat ditransformasikan dalam berbagai bentuk dan kreasi. Jadilah aktif, kritis dan kompeten. Teruslah berkarya dan ingat:

“Everything that You Can Imagine Is Real”
(Albert Einstein)

(Rusyanti)