Monday, February 18, 2008

Laksamana Cheng Ho

Cheng Ho merupakan sebuah sosok yang memiliki banyak sekali nama. Beberapa ada yang menyebutnya Zheng He, Sam Po Kong, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan sebuah nama lagi disebutkan dalam sebuah berita Ming Shi (Sejarah dinasti Ming), bahwa “Zheng He berasal dari Propinsi Yunnan, dikenal sebagai Kasim San Bao”. Tokoh ini kurang diperhatikan pada masa feodal Cina di masa lalu karena dia adalah seorang kasim, dan kasim tidak dihargai di Cina pada masa itu.

Cheng Ho berasal dari suku Hui yang anggota sukunya banyak yang memeluk Islam, termasuk ayah dan kakeknya. Beberapa ahli ada yang menyatakan keluarga ini sebagai keturunan Nabi Muhammad, tetapi tak sedikit pula yang menentang. Cheng Ho hidup sejak 1371-1433 M, dan selama masa hidupnya dia sudah memimpin armada pelayaran selama 28 tahun dengan 7 kali pelayaran berturut-turut untuk mengunjungi banyak negara, baik di Asia maupun Afrika.

Dalam tujuh pelayarannya tersebut, dia mampir ke Sumatera sebanyak 7 kali dan ke Jawa sebanyak 6 kali karena dia tidak singgah ke pulau ini pada pelayarannya yang ke-enam. Akan tetapi di Jawa ada sebuah bangunan yang dibuat untuk mengenang Cheng Ho, yaitu Klenteng Sam Po Kong di Semarang.

Menurut cerita, pada pertengahan abad 15 Cheng Ho berlabuh di Simongan, Semarang, karena pembantunya, Wang Jing-hong, sakit. Untuk menjaga kesehatannya Cheng Ho memerintahkan Wang beserta 10 awak kapal menetap sementara di Semarang, sementara ia dan awak lain meneruskan perjalanan. Dengan segera Wang menjadi betah dan memutuskan menetap.

Keputusannya ini membawa banyak perubahan bagi daerah tersebut. Karena kemudian, ia dan 10 awak lain bercocok tanam, membuat rumah, menikah dengan wanita setempat, dan berdagang dengan menggunakan satu kapal yang ditinggalkan Cheng Ho, serta menyebarkan agama Islam. Lama kelamaan daerah tersebut menjadi ramai dan berkembang pesat. Untuk mengenang jasa Cheng Ho ia membuatkan sebuah patung yang kemudian dipuja oleh masyarakat setempat setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Selanjutnya dibangun juga sebuah klenteng di tempat tersebut yang dikenal dengan nama Klenteng Sam Po Kong.

Setelah Cheng Ho meninggal, banyak orang yang berselisih paham mengenai letak makamnya. Sebagian mengatakan berada di Semarang, sebagian lain yakin makam tersebut ada di Gun Ming, Yunan. Sementara keturunannya sendiri berpendapat makam moyang mereka tersebut terletak di Nanjing.

Akan tetapi, kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa Cheng Ho cukup berjasa bagi dunia. Karena selain menyebarkan Islam, dia juga memperbanyak pengetahuan mengenai laut Pasifik dan Hindia, membuat 24 peta navigasi, menghalau bajak laut yang dapat menghambat perdagangan, dan membuka jalan untuk pertukaran kebudayaan. (nisa)

Dikutip dari Sam Po Kong dan Indonesia karya Kong Yuan Zhi)

Tuesday, February 12, 2008

Witing Tresno

Prakata

Februari. Bulan kedua dalam penanggalan surya ini sering dianggap sebagai bulan penuh cinta. Love is in the air. Setidaknya demikianlah anggapan sebagian besar masyarakat dunia, terinspirasi dari kebudayaan Romawi yang merupakan salah satu kebudayaan besar dunia.

Akan tetapi tulisan ini tidak akan membahas perayaan yang hanya dalam satu hari dapat membuat dunia bernuansa merah jambu. Alasannya? Bukan karena adanya pro – kontra perayaan Valentine’s Day yang sering dilandasi alasan ideologi, juga teologi. Tetapi karena ada hal menarik lain yang merupakan substansi dari perayaan itu, yang tentunya bersifat sangat universal: Cinta.

Bicara cinta, tentu saja akan terbayang sesuatu yang mellow-jello atau bahkan roman-picisan. Seperti halnya yang ditulis Plato dalam Symposium tentang soulmate: dua jiwa yang dipisah, kemudian apabila dipertemukan akan terasa… sempurna. Ironisnya, kisah Plato tersebut terinspirasi ocehan Aristophane ketika sedang mabuk.

Tetapi cinta tidak selalu bersifat melankolis dan romantis. Erich Fromm, seorang filsuf, bahkan menganggap cinta dapat membebaskan manusia dari keterasingan. Selama manusia menjadikan cinta sebagai suatu yang produktif: memiliki perlindungan, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan.

Pusing? Memang lebih menyenangkan apabila tidak membicarakan cinta secara filosofis. Sepertinya banyak yang sepakat apabila cinta lebih menyenangkan apabila diceritakan. Apalagi Indonesia juga memiliki banyak sumber cerita menarik tentang cinta, terutama yang bersumber dari masyarakat Jawa Kuna.

Bukan berarti terpengaruh Orde Baru apabila kami membicarakan kisah cinta yang banyak bersumber dari Jawa. Tidak dapat disangkal lagi, masyarakat Jawa Kuna merupakan masyarakat yang produktif dalam menghasilkan kisah roman.

Tidak hanya dalam bentuk tradisi lisan, bahkan kisah-kisah tersebut tercatat dengan baik dalam bentuk tulisan. Tidak hanya itu, kisah-kisah tersebut juga divisualisasi dengan jelas dalam bentuk relief cerita. Walaupun mendapat pengaruh dari kebudayaan India, namun cerita-cerita tersebut telah digubah sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri (local genius).


Untaian "Petulangan" Cinta Arjuna

Adapun tokoh yang populer dalam hal percintaan, bahkan hingga sekarang, adalah Arjuna. Salah satu tokoh Pandawa ini dikenal karena ketampanan fisiknya. Konon Arjuna memiliki setengah dari seluruh ketampanan dunia yang diberi oleh para dewa, sementara setengah yang lain dibagikan kepada seluruh pria di dunia. Namun bagaimanakah sebab-musabab Arjuna dikenal sebagai sosok yang mencari cinta?

Banyak naskah yang bercerita tentang ‘petualangan cinta’ Arjuna, antara lain Adiparwa, Subadhrawiwaha (pernikahan Subadhra), dan Arjunawiwaha (pernikahan Arjuna). Dalam salah satu fragmen cerita yang digubah dari Mahabharata, dikisahkan tentang sayembara yang diadakan raja Drupada, dan diikuti para Pandawa. Singkat cerita, para Pandawa berhasil menang, dan berhak mendapatkan putri raja, Drupadi, sebagai istri para Pandawa.

Para Pandawa membuat aturan mengenai saat-saat mereka menemani Drupadi, antara lain tidak mendekat saat salah satu dari mereka sedang bersama Drupadi. Namun, saat Yudhistira sedang bersama Drupadi, secara tidak sengaja Arjuna mendekati mereka berdua. Untuk menghindari perselisihan, Arjuna mengalah, memilih mengembara selama dua belas tahun, kemudian berikrar kepada Yudhistira (kakak tertua para Pandawa) tidak akan bercinta selama kurun waktu tersebut.

Kemudian dalam pengembaraannya Arjuna bertemu dengan Ulupuy, putri raja naga Korawya. Ulupuy-lah yang mematahkan ikrar Arjuna, dengan mengatakan bahwa ikrar itu hanya berlaku untuk Drupadi. Arjuna kemudian luluh, mengikuti Ulupuy ke dunia bawah, kemudian menikahinya.

Mungkin Ulupuy pula yang menjadi pintu bagi ‘petualangan cinta’ Arjuna. Karena kemudian Arjuna meninggalkannya dan kembali mengembara. Dalam pengembaraan berikutnya, tercatat nama Citragandha, Subadhra, Suprabha, dan Tilottama sebagai bagian dari ‘petualangan cinta’ Arjuna.

Citragandha merupakan putri raja Citradahana, yang membolehkan Arjuna menikahi putrinya selama Arjuna berjanji akan memberinya cucu laki-laki. Buah pernikahan Arjuna dengan Citragandha adalah Wabruwahana. Kemudian setelah memberikan cucu laki-laki kepada raja Citradhana, Arjuna kembali mengembara.

Pengembaraan berikutnya mempertemukannya dengan Krsna, juga Subadhra, adiknya Krsna. Konon Subadhra memiliki setengah dari seluruh kecantikan yang ada dunia, yang setengahnya ada pada perempuan seluruh dunia. Ketika melihat Subadhra pertama kali, Arjuna jatuh hati kepadanya. Namun Krisna menyarankan Arjuna untuk melarikan Subadhra. Karena kesaktiannya, Arjuna tidak dapat ditangkap. Kemudian Arjuna pun dinikahkan dengan Subadhra, juga atas usul Krsna kepada keluarganya, dengan pertimbangan kesaktian dan status Arjuna sebagai Pandawa.

Sedangkan Suprabha dan Tilottama adalah dua dari tujuh bidadari yang dinikahi oleh Arjuna, yang terdapat dalam naskah Arjunawiwaha. Kitab yang digubah Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Erlangga ini bercerita tentang usaha Arjuna untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa (daitya) yang berusaha menyerang dan menghancurkan surga, kerajaan Indra. Sebagai rasa terima kasih, Indra pun menikahkan Arjuna dengan tujuh bidadari, termasuk Suprabha dan Tilottama. Namun, tidak jelas kronologi kisah ini dalam ‘petualangan cinta’ Arjuna: apakah sebelum, sesudah, atau ketika ia menikah dengan Subadhra?


Kesetiaan Rama - Sita

Hmm… Tentu tidak semua kisah cinta seperti halnya Arjuna. Banyak juga, kok, kisah cinta dari masa Jawa Kuna yang menceritakan tentang kesetiaan. Mau bukti?! Kisah-kisah berikut adalah beberapa contohnya.

Tentu nama Rama – Sita tidak terdengar asing lagi. Kisah yang digubah oleh Valmiki ini kembali ditulis oleh penyair Jawa Kuna yang diperkirakan berasal dari zaman Kediri abad ke-11 atau ke-12. Mungkin bisa dibilang kalau kisah ini merupakan cinta segitiga dengan tokoh-tokoh yang paling dikenal di masyarakat Indonesia: Rama, Sita, dan Rawana.

Konon Rawana jatuh hati kepada Sita, yang ternyata sangat mencintai Rama. Rawana pun kemudian menculik Sita ke kerajaannya di Alengka. Rawana juga melakukan segala hal yang dapat menyenangkan hati Sita. Bahkan Alengka pun dipenuhi ribuan bulan bulat tiap malam, sebagai persembahan cinta Rawana kepada Sita. Namun Sita tetap sangat merindukan Rama.

Begitu pula dengan Rama, yang melewatkan musim hujan di gunung Malyawan dalam kedukaan yang dalam. Dalam pupuh ketujuh kitab Ramayana, kerinduan itu dituliskan dengan sangat puitis: “musim yang menimbulkan rasa rindu akan kekasih”. Kerinduan yang ironis, karena kemudian menyebabkan terbakarnya Alengka akibat serangan Rama yang dibantu adiknya, Laksmana, serta pasukan kera pimpinan Hanuman. Sita pun terlepas dari cengkraman Rawana, setelah Rama berhasil menewaskannya.

Akan tetapi ‘scene’ klasik layaknya love story lain, dimulai pada bagian berikutnya. Rama merasa mereka sudah tidak bisa hidup sebagai suami-istri lagi karena Sita sudah begitu lama hidup dengan Rahwana dan pengikutnya, yang notabene adalah musuh mereka. Sita yang terluka hatinya mencoba membuktikan kesuciannya dengan membakar dirinya sendiri dalam api. Agni, sang dewa api membantunya karena pada saat Sita menerjunkan diri api langsung berubah menjaid bunga teratai emas. Hal ini melenyapkan kecurigaan Rama dan akhirnya mereka bersatu kembali dan kembali ke Ayodhya sebagai raja dan permaisuri.

Pengorbanan Kama - Ratih

Beda lagi dengan Kama – Ratih. Kisah yang tertulis dalam Smaradahana (api asmara) gubahan Mpu Dharmaja pada paruh abad terakhir kerajaan Kadiri ini, bercerita tentang kesetiaan yang berakhir sangat dramatis.

Kisah berawal dengan ancaman yang melanda kahyangan oleh raksasa bernama Nilarudraka. Tak ada seorang pun dewa yang mampu mengalahkannya, kecuali seorang putra dari benih Siwa. Namun, saat itu Siwa sedang bertapa dan sama sekali tak bisa diganggu.

Para dewa kemudian mengadakan pertemuan, yang dipimpin oleh dewa Indra. Kemudian, atas usul Wrhaspati, seorang penasehat, para dewa sepakat untuk mengutus dewa cinta, Kama, untuk mengobarkan hati Siwa dengan asmara dan kerinduan terhadap Uma, permaisurinya.

Kama pun bersedia menerima tugas dari para dewa, dan berangkat menuju tempat Siwa sedang bertapa. Kama kemudian melepaskan beberapa panah berbentuk bunga, untuk membangkitkan kerinduan dewa tertinggi tersebut terhadap Uma. Berhasil. Siwa pun terbangun dari tapanya karena merindukan Uma. Kelak, lahir Ganesha sebagai buah cinta Siwa – Uma, yang akan mengalahkan Nilarudraka.

Akan tetapi, Siwa sangat marah setelah mengetahui tapanya diganggu oleh sang dewa asmara. Siwa lalu membakar Kama dengan mata ke-tiganya (trinetra) hingga menjadi abu. Mengetahui musibah yang menimpa Kama, Indra dan dewa yang lain kemudian datang untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. Mereka lalu meminta Siwa untuk menghidupkan Kama kembali. Karena, tanpa Kama tidak akan ada cinta, dan akan banyak hal buruk di dunia tanpa adanya cinta. Siwa sependapat, tetapi hanya akan menghadirkan suksma (sukma) Kama, dan tidak dalam bentuk fisik.

Mengetahui kabar yang menimpa suaminya, Ratih merasa sangat sedih. Tanpa Kama, ia hanya merasakan hidup bagai “menceburkan diri ke dalam api”. Wrahaspati kemudian menjelaskan bahwa mereka berdua masih dapat saling bertemu, walau hanya dalam bentuk suksma.

Di perabuan Kama, Ratih menegaskan kesetiaannya yang tak akan goyah. Api di perabuan Kama kemudian kembali menyala tinggi, seolah mengajak Ratih untuk menemani Kama. Setelah memurnikan pikirannya melalui yoga, Ratih kemudian menceburkan diri ke dalam api. Mengorbankan bentuk fisiknya untuk menyatukan kembali suksma mereka berdua.

Bentuk fisik Kama dan Ratih pun bersatu menjadi abu. Dan, hingga kapan pun suksma mereka juga akan terus bersatu. Kama akan menjelma pada hati setiap lak-laki. Sedangkan Ratih akan menjelma pada hati setiap perempuan.

Hmm… It sounds so deep…

Love is (Not) Blind

Banyak orang mengatakan kalau cinta itu buta. Jatuh cinta pun sering membuat manusia lupa segalanya, kecuali orang yang dikasihinya. Lihatlah Rawana, berjuta bulan bulat selalu dipersembahkan kepada Sita tiap malam. Sedangkan tak sedegup pun hati Sita bergetar kepada Rawana, karena rindunya yang teramat dalam kepada Rama. Sia-sia? Hanya Rawana yang mampu menjawabnya.

Namun, tidak selamanya cinta membuat manusia itu buta. Beberapa kisah cinta masyarakat Jawa Kuna mengajarkan bahwa cinta tidak hanya tentang mengagungkan rasa cinta itu sendiri. Ya, cinta tidak hanya tentang rasa, tetapi juga pengorbanan dan dharma. Dan, tentu saja hal itu membutuhkan kesadaran hati dan pikiran. Seperti salah satu kisah yang terdapat dalam Tantri Kamandaka berikut.

Alkisah, terdapat seorang raja yang bernama Aridarma (Angling Darma? –ed.), yang mencegah seorang putri naga dari perbuatan tidak senonoh. Atas perbuatannya itu, oleh raja naga Aridarma diberikan kemampuan bicara bahasa binatang. Akan tetapi, syaratnya adalah Aridarma harus merahasiakan kemampuannya itu, atau ia akan mati. Aridarma pun menyanggupinya.

Suatu ketika, saat sedang bermesraan dengan permaisurinya, Aridarma mendengar ucapan seekor cicak betina: “Aduhai, ingin sekali aku diperlakukan mesra seperti yang didapatkan Dewi Mayawati. Tidak seperti aku yang ditinggal suami dalam sepi.”

Mendengar itu, Aridarma hanya tersenyum. Ketika melihat suaminya tersenyum, Mayawati penasaran. Kemudian ia bertanya kepada suaminya. Akan tetapi, Aridarma diam, tidak menjawab rasa penasaran Mayawati. Ditikam sejuta penasaran, Dewi Mayawati terus mendesak, namun Aridarma tetap diam, karena ia akan mati, sesuai syarat yang diberikan raja naga.

Hingga kemudian, penasaran Dewi Mayawati berubah menjadi emosi. Ia lalu berkata “Baiklah, kalau begitu hamba lebih baik mati.”

Aridarma menjawab, “Baiklah kalau demikian. Buatkan tempat pembakaran. Kalau aku ceritakan, itu hanya akan membuatku mati. Nanti akan aku ceritakan di tempat kita akan terbakar bersama-sama. Sehingga matilah kita bersama-sama.”

Para pengawal kemudian mempersiapkan tempat pembakaran. Ketika di atas panggung, Aridarma mendengar obrolan sepasang kambing.

Kambing betina berkata, “Mas, ambilkan aku janur kuning dekat tempat pembakaran itu, dong.”

Tapi kemudian kambing jantan menjawab. “Pikirmu apa? Tidakkah kau melihat tempat itu dipenuhi para penjaga yang membawa senjata? Apa kamu mau aku disemblih?”

Kambing betina kemudian merengek, “Kalau kamu tidak mengabulkan, lebih baik aku mati saja.”

Sambil marah-marah, sang jantan lalu menjawab. “Kalau mau mati, mati saja! Tidak mau aku seperti raja bodoh itu. Hanya untuk memenuhi keinginan sang istri, dia memilih mati. Beda dengan aku, mau cinta, mau tidak cinta juga terserah…!”

Setelah mendengar ucapan kambing jantan, Aridarma pun tersadar, lalu turun dari panggung tempat pembakaran. Ia memutuskan untuk tidak secepat itu meluluskan permintaan permaisurinya tercinta. Bagaimanapun juga, Aridarma adalah raja, dan dharma seorang raja adalah kepada rakyatnya, bukan hanya kepada istri.

Namun, Mayawati tetap menerjunkan dirinya ke dalam api. Begitu pula dengan kambing betina.

All We Need is Love

Ckkk… ckkk… ckkk… Dahsyat juga, ya, apa yang telah ditulis masyarakat Jawa Kuna. Ternyata, cinta merupakan sumber inspirasi yang dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan. Datangnya cinta memang dapat menghasilkan berjuta akibat. Mulai dari rivalitas yang menyebabkan peperangan; hingga tentang perjuangan dan pengorbanan.

Betapa pun cinta dapat membuat manusia menjadi buta, namun seperti yang diajarkan naskah-naskah Jawa Kuna: bukan cinta yang hendaknya diagungkan. Tetapi dharma kepada cinta-lah yang harus diperjuangkan. Seperti yang dikatakan Erich Fromm (1947), yang dibutuhkan manusia adalah cinta yang produktif: memiliki perlindungan, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan. (Bayu Galih/Khairun Nisa, Februari 2008)