Thursday, September 27, 2007

Tradisi Kuliner Nusantara

Tradisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia memperkenalkannya sebagai adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Umumnya berkaitan dengan hal-hal yang religius. Tapi tradisi tidak selamanya identik dengan ritual yang khusyuk. Tradisi juga bisa dalam bentuk segala macam kelezatan, lho!

Ini terlihat dalam tradisi aneka ragam makanan khas Nusantara. Tidak sekedar untuk mengisi perut atau mencari kelezatan semata. Tradisi kuliner khas Nusantara ternyata kaya dengan arti dan makna. Berkenaan dengan tradisi Ramadhan, beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi kulinernya sendiri, baik dalam menyambut atau menjadi hidangan nikmat saat berbuka.

Munggahan misalnya. Tradisi yang terkadang juga dilafalkan sebagai Punggahan ini dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian selatan. Disebut demikian karena mereka menganggap orang yang berpuasa itu munggah atau meningkat perasaannya. Biasanya dipersiapkan sajian dengan tujuh jenis lauk-pauk seperti sambal goreng, bakmi, gudangan (urap), tempe, daging/ayam goreng, telur, dan acar. Lauk yang memiliki cita rasa beragam ini dimaksudkan untuk melambangkan manusia yang mempunyai karakter dan kesenangan yang berbeda-beda. Walau aslinya berasal dari pulau Jawa, namun seiring dengan meluasnya populasi orang Jawa di daerah lain masyarakat luar Jawa juga mengenal tradisi ini.

Khusus Yogyakarta dan Solo, Ramadhan disambut dengan sajian ‘tiga serangkai’ yang terdiri dari ketan putih, kolak, dan apem. Ketan, yang kecil-kecil ukurannya namun menjadi satu dan saling melekat, melambangkan banyaknya orang yang menjalankan puasa dan menjadi satu. Ketan juga mengandung makna mengirim doa dan pengharapan agar arwah leluhur mendapat tempat yang baik di sisi Tuhan. Sedangkan putih melambangkan niat suci untuk memasuki bulan puasa, serta sudah bersatunya pikiran dan jiwa untuk menjalankan perintahNya.

Adapun apem yang berbentuk bulat seperti payung melambangkan kebulatan tekad untuk memohon perlindungan kepada Tuhan dan permohonan maaf bagi arwah leluhur kepada Tuhan. Kata apem juga berasal dari bahasa Arab, afwun, yang artinya permintaan maaf atau ampunan.

Sementara kolak berasal dari bahasa Arab, qola. Artinya, pernyataan atau ucapan syukur akan datangnya Ramadhan dan ibadah puasa yang akan dijalankan. Selain itu, juga sebagai pernyataan ikhlas menerima tugas agama ini.

Hmm... Ternyata selama ini hidangan yang kita santap saat berbuka mempunyai maknanya. Semoga saja makna itu tidak menghilang secepat kita menyantapnya. Ada yang tahu makna makanan tradisional lain? *dari berbagai sumber* (September, 2007)

Thursday, September 6, 2007

Sejarah di Balik Nama?

Shakspeare, seorang sastrawan Inggris, pernah mengatakan: "What's in a name?" Tentu jawabnya bisa bermacam-macam. Walau bunga Mawar tetaplah wangi walau tidak tidak bernama Mawar. Jauh sebelumnya di jazirah Arabia, seorang Muhammad pernah mengatakan bahwa nama adalah doa, ada pengharapan ketika orang tua menamakan bayinya.

Tapi kita tidak bicara tentang nama yang melekat pada manusia. Lebih menarik apabila mengetahui latar belakang nama suatu wilayah. Ada proses panjang yang terjadi di sana: Baik itu proses sejarah, maupun latar belakang budaya yang melatarbelakangi pembentukan nama. Suatu proses yang tidak jarang membuat kening manusia berkernyit: Heran, takjub, atau bahkan merinding. Hingga tidak jarang sebuah nama terjadi bukan karena sebuah pengharapan, tapi lebih ke takdir. (It's a little bit debatable, isn't it?)

Seperti misalnya nama Kampung Pecah Kulit, di Jakarta Utara. Dinamakan "Pecah Kulit" karena adanya eksekusi oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap seorang londo yang bernama Pieter Erbeveld. Kesalahan Pieter adalah mendukung perjuangan inlander melawan VOC (Untuk jelasnya baca Adolf Heuken, Historical Sites of Jakarta). Eksekusi berjalan parah. Kedua kaki dan kedua tangan Pieter diikat di kuda, kemudian kuda-kuda tersebut berlari kencang ke empat penjuru mata angin. Maka pecahlah badan, juga kulit, Pieter. Tak hanya itu, kepalanya juga digantung untuk dijadikan monumen peringatan bagi para inlander. Sejak itu, wilayah itu dinamakan Kampung Pecah Kulit. Nama yang diambil dari pecahnya kulit Pieter Erbeveld. Oh... Seraaamm...

Ada lagi, nih. Selama ini, orang mengetahui nama Betawi berasal dari lidah penduduk pribumi yang kesulitan menyebut Batavia. Tapi ada sejarah nama lain dari Betawi, walau tidak familiar dan marjinal. Konon, tentara Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung yang mengepung Batavia saat itu kehabisan amunisi. Tak hilang akal, Sultan Agung kemudian meminta prajurit-prajuritnya mengumpulkan kotoran, alias tahi, untuk dijadikan amunisi. Setelah terkumpul banyak, tahi-tahi itu lalu dilemparkan ke dalam kota Batavia. Tentu saja "semerbak harumnya" tahi tersebut menyebar ke penjuru kota. Hingga orang-orang berteriak, "Mambu tai, Mambu tai," yang kemudian terdengar seperti Betawi.

Yah, setidaknya itulah yang diceritakan almarhum Ajatrohaedi, seorang ahli sejarah nama, yang juga guru kami tercinta. Sejarah nama itu sendiri dikenal di dunia akademisi dengan nama ilmu Toponimi. Suatu bidang ilmu yang oleh Mang Ajat dinamakan ke bahasa Indonesia: Widyaloka. Sayang, ilmu ini belum begitu berkembang di sejarah-budaya Indonesia.

Oh iya, sekedar info. Tahukah Anda kalau ternyata nama Margonda Raya, yang terbentang sedemikian panjangnya di Depok, diambil dari nama pahlawan legendaris Depok: Margonda. (Agustus, 2007)